Sabtu, 27 Juni 2009

Refleksi Islam Politik


Yusuf Wibisono
(Staf Pengajar FEUI)


Hasil Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan bahwa tiga partai Islam terbesar, yaitu PKS, PPP, dan PBB, hanya mampu mendulang 14,99 persen, tidak banyak berbeda dengan perolehan 10 tahun lalu dalam Pemilu Legislatif 1999. Padahal, pada Pemilu 2004 partai-partai Islam mampu mendulang 21 persen suara. Partai Islam-inklusif -PAN dan PKB- dan partai sekuler-inklusif -Partai Golkar- yang disebut Baswedan (2004) sebagai Islam-friendly parties, bahkan mengalami penurunan signifikan dari 42 persen pada 1999 menjadi 25 persen pada 2009. Hal ini secara jelas menunjukkan stagnasi Islam politik. Dalam satu dekade terakhir, partai-partai Islam tidak mampu menarik dukungan publik yang lebih luas. Mengapa Islam politik pascareformasi mengalami kegagalan?

Dalam rentang enam dekade terakhir, terjadi transformasi politik Islam di Indonesia. Di era 1950-an, hanya ada partai Islam (Islamist parties) dengan agenda negara Islam dan penerapan syariat. Pascareformasi di akhir 1990-an, tidak hanya terdapat partai Islam dengan agenda tunggal penerapan syariat, namun juga terdapat partai Islam-inklusif dan partai sekuler-inklusif dengan agenda yang lebih umum, yaitu masuknya nilai dan moral Islam dalam kebijakan negara dan pembangunan.

Secara umum, partai Islam di Indonesia tampil semakin moderat dan dengan agenda yang semakin pragmatis. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara Muslim besar-demokratis lainnya, yaitu Turki. Banyak pakar percaya bahwa keterlibatan dalam proses politik, baik secara demokratis maupun tidak, akan membawa pemimpin partai Islam menjadi moderat secara ideologis, seperti beralih dari teokrasi ke demokrasi.

Mecham (2004) menunjukkan bahwa moderasi ideologis AKP di Turki merupakan hasil dari beberapa faktor institusional. Pertama, gerakan mendapat kebebasan untuk membuat pilihan strategis dalam sistem politik yang memberi political entrepreneurship, dengan peluang kredibel untuk kekuasaan. Kedua, negara dan elemen masyarakat madani menerapkan kendala-kendala institusional publik pada perilaku gerakan. Ketiga, interaksi antara pemimpin gerakan, konstituen, dan negara meningkatkan informasi gerakan tentang potensinya dan pilihan-pilihan strategis yang dimilikinya.

Namun, berbeda dengan AKP yang sangat moderat dan meraih kemenangan dalam tiga kali pemilu 2002, 2007, dan 2009, moderasi ideologis partai-partai Islam di Indonesia, tidak diikuti dengan meningkatnya dukungan publik. Mengapa moderasi ideologis AKP membawa kemenangan, sedangkan moderasi ideologis partai Islam Indonesia justru berbuah pesimisme bahkan sinisme politik?

Moderasi ideologis
Kehadiran partai Islam di pentas demokrasi dengan isu yang semakin moderat, membuktikan adanya proses political learning. Dalam kasus AKP di Turki, moderasi ideologis partai adalah hasil dari political learning dalam periode waktu yang ekstensif. Ia muncul sebagai hasil dari respons strategis atas berbagai hambatan institusional dan pengalaman demokrasi untuk memperoleh kekuasaan. Moderasi ini hanya terjadi setelah interaksi panjang antara pemimpin partai dengan negara dan konstituen, yang membuat partai mendapat informasi lebih banyak tentang preferensi pemilih dan kendala-kendala dari negara.

Dalam kasus Indonesia, moderasi ideologis terlihat jelas pada kasus PKS. Setelah mengalami kegagalan pada Pemilu 1999, PKS tampil di Pemilu 2004 dengan memperluas citra modernis dan moderat partai dengan slogan 'bersih dan peduli'. Moderasi ideologis yang berjalan beriringan dengan kinerja partai di tingkat akar rumput, mampu mendongkrak raihan suara PKS secara signifikan. Moderasi PKS terus berlanjut hingga Pemilu 2009, bahkan dengan derajat yang semakin tinggi. Namun, moderasi signifikan ini tidak berbuah membesarnya dukungan publik pada PKS. Raihan suara PKS stagnan.

Political learning partai-partai Islam adalah fenomena umum. Namun, di Indonesia, partai-partai Islam gagal menampilkan diferensiasi dan kemampuan partai dalam mengelola pemerintahan. Menurunnya dukungan terhadap partai-partai Islam terlihat disebabkan oleh semakin meningkatnya persepsi kesenjangan antara idealitas Islam partai dan kompromi-kompromi politik di lapangan. Pemimpin partai Islam juga gagal memunculkan creative action yang mengizinkan mereka mempertahankan orisinalitasnya dan pada saat yang sama, memperluas daya tarik mereka terhadap konstituen.

Partai-partai Islam dilihat publik semakin pragmatis dan berorientasi pada kekuasaan semata. Dalam rangka meraih kekuasaan dan mengumpulkan dana, partai-partai Islam masuk ke banyak koalisi cair dengan partai-partai sekuler, baik di tingkat nasional maupun lokal. Beberapa kasus besar juga tercatat oleh publik yang memperlihatkan pragmatisme jangka pendek dan bergesernya orientasi kerakyatan partai-partai Islam, seperti kasus impor beras, kenaikan harga BBM, blok Cepu, BLBI, dan lain-lain.
Kemenangan partai Islam dibanyak negara sebagian besar disebabkan oleh kegagalan partai sekuler yang lemah dan korup. Di Aljazair, kemenangan FIS terjadi beriringan dengan turunnya kinerja partai mayoritas FLN. 

Koalisi rent-seeking yang menyatu di dalam FLN, menghambat ketersediaan pilihan kebijakan dalam krisis fiskal. FLN merespons krisis fiskal khususnya dengan mengubah kebijakan regulasi dan distribusi, yaitu liberalisasi pasar dan reformasi sektor publik, yang membawa pada keluarnya kelompok menengah dari FLN yang kemudian menggeser dukungannya ke FIS. Dukungan kelompok menengah ini, khususnya pelaku usaha kecil, birokrat tingkat bawah dan kelompok terdidik, menjadi kunci kemenangan FIS (Chibber, 1996). Sedangkan kemenangan partai Refah di Turki, sebagian besar disebabkan oleh faktor-faktor internal negara, seperti fragmentasi kekuatan politik, distribusi pendapatan yang sangat tidak merata, menurunnya kapasitas redistribusi, dan menurunnya moral otoritas negara.

Hal ini secara jelas juga terjadi pada PKS di Pemilu 2004. PKS yang tampil dengan kampanye pemerintahan 'bersih dan peduli', bukan keislamannya, mampu menarik simpati publik yang telah kehilangan kepercayaan pada partai-partai sekuler, yang dianggap lemah dan korup. Maka, ketika kemudian partai-partai Islam dipersepsikan tidak berbeda dengan partai sekuler yang lemah dan korup, dukungan publik pun terhenti. Bahkan, PPP dan PBB pada Pemilu 2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Secara jelas kita melihat bahwa kunci kemenangan partai Islam adalah keberpihakan pada rakyat, kemampuan mengelola pemerintahan, dan citra antikorupsi, bukan moderasi ideologis semata. Citra pemerintahan bersih dan prorakyat ini justru mampu dimunculkan pada sosok SBY, yang kemudian menjadi faktor kunci kemenangan PD pada Pemilu 2009 ini.

Kinerja publik
Kinerja partai di ranah publik adalah kunci kemenangan di pentas demokrasi. Partai-partai Islam yang mencoba memperluas dukungan publik dengan hanya semata-mata mengandalkan moderasi ideologis, secara jelas mengalami kegagalan. Kinerja partai di lembaga legislatif maupun eksekutif menjadi parameter keberhasilan yang secara mudah dilihat publik.

Di Turki, AKP yang mampu mendapat simpati publik dan menguasai pemerintahan lokal, mampu menunjukkan kinerja yang sangat baik di tingkat lokal dengan menyerap aspirasi rakyat, terutama di daerah-daerah industri baru, dengan secara pragmatis menyelesaikan permasalahan melalui sikap business-friendly, pro-Uni Eropa, proglobalisasi, dan outward-looking. Dikombinasikan dengan kekuatan organisatoris AKP di tingkat akar rumput yang hebat dan penzaliman pemimpin partai yang populis, membuat AKP mendapat kepercayaan pemilih di tingkat nasional yang menginginkan perubahan dari keterpurukan ekonomi nasional dan kesenjangan yang besar.

Hal ini kemudian dibuktikan setelah AKP naik ke kursi kekuasaan. Secara mengejutkan, AKP mampu membawa Turki mendekat ke Uni Eropa, sesuatu yang tak mampu dilakukan pemerintahan manapun sebelumnya. Di saat yang sama, AKP mampu membawa pemulihan ekonomi Turki dari jurang resesi menuju kesejahteraan. Prestasi ekonomi Turki secara jelas menunjukkan perbaikan setelah AKP naik ke kursi kekuasaan pada 2002. Hasilnya, pada Pemilu 2007, AKP kembali memenangkan pemilu Turki secara telak dengan mendapat 47 persen suara.

Belajar dari pengalaman AKP, partai-partai Islam Indonesia harus mampu menunjukkan kinerja mereka di ranah publik, secara pragmatis menyelesaikan berbagai permasalahan riil yang dihadapi masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan gratis, mengentaskan kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja. Hal ini dapat dimulai di tingkat lokal, di mana partai-partai Islam memegang kekuasaan. Keberhasilan mengelola pemerintahan lokal akan menjadi modal penting dalam mengejar kemenangan di pemilu nasional.

Tidak ada komentar: