Selasa, 09 Juni 2009

Perlukah Ilmuwan Berpolitik?

Elisabeth Rukmini

Kebijakan pemilu presiden di AS bertautan dengan sains. Para ilmuwan menyebutnya politicization of science.

Kebijakan Bush kerap disebut paling memolitisasi sains. Meski demikian, politicization of science secara berimbang dapat ditimpakan kepada Obama dalam kampanye terkait energi bersih (clean energy). Bukankah Obama memolitisasi sains yang tidak dilakukan Bush?

Roger Pielke, profesor Environmental Studies University of Colorado at Boulder, aktif dalam penelitian sains teknologi dan decision making; menulis kaitan sains dan politik (Harvard International Review, 2008).

Pielke mencontohkan enam presiden yang melakukan politicization of science. Richard Nixon mengubah waktu peluncuran Apollo 17 demi pilpres ulang tahun 1972. Ford meminta Environmental Protection Agency (EPA) mengubah data pendukung emisi gas sulfur dioksida; investigasi terhadap regulasi ini menunjukkan bukti-bukti berlawanan dengan kesahihan regulasinya. Jimmy Carter menyimpulkan, AS menyediakan 20 persen energi dari sumber-sumber terbarukan; data ini berbeda dengan data dari penasihat sainsnya. Ronald Reagan membawa isu evolusi dalam kampanye dan mengusulkan agar teori evolusi sekaligus kisah penciptaan dari Alkitab diajarkan di sekolah. George Bush membawa isu wetlands untuk membebaskan lahan terbuka di bawah perlindungan hukum federal bagi pembangunan properti. Bill Clinton memerintahkan penutupan pabrik farmasi Al Shifa di Sudan tahun 1998 terkait kasus peledakan bom Kedubes AS di Kenya dan Tanzania. Diberitakan, berdasarkan bukti-bukti ilmiah, Al Shifa terlibat kasus ini. Belakangan diketahui, bukti-bukti ilmiah itu belum disimpulkan. Barack Obama menambah daftar ini dengan membawa isu perubahan cuaca dan clean energy.

Peran ilmuwan

Politicization of science tidak terkait hitam putih sains dan politik atau pengambilan keputusan. Dalam isu-isu terkait sains, teknologi, dan kehidupan masyarakat, politicization of science penting dipandang sebagai advokasi. Contoh, isu lingkungan terkait sumber energi terbarukan atau perubahan iklim. Pengambil keputusan membutuhkan tenaga ahli untuk menilai aksi apa yang perlu dipilih.

Pielke dalam buku The Honest Broker (2008) merangkum empat peran ilmuwan dalam politik dan policy. Keempat peran itu adalah the pure scientist; the science arbiter; the issue advocate; the honest broker of policy options. Di antara peran-peran itu ada stealth issue advocacy bila ilmuwan dibayangi keuntungan pribadi untuk mengegolkan isu tertentu, ada konflik kepentingan. Peran pertama dan kedua berjalan baik, bila nilai suatu isu amat jelas dan derajat ketidakpastiannya amat minim. Ketika ada konflik nilai dan ketidakpastiannya jelas, peran ilmuwan sebagai the issue advocate dan the honest broker terlihat jelas. Peran ketiga berbeda dari peran keempat dalam pilihan solusi yang disodorkan ilmuwan kepada pembuat keputusan. The issue advocate membawakan satu opsi dengan analisisnya, sedangkan the honest broker mengajukan beberapa opsi beserta analisis positif dan negatifnya.

Pertanyaannya, dimanakah posisi ilmuwan kita? Memasuki masa kampanye pilpres, penting bagi ilmuwan (dan capres-cawapres) memperhitungkan politicization of science dalam penilaian program-program yang ditawarkan para calon. Masyarakat berhak mengetahui duduk persoalan isu-isu penting dan menyangkut harkat hidup orang banyak.

Ilmuwan pantas menjalankan pilihan empat peran itu demi masyarakat terdidik. Peran pertama (the pure scientist) dan kedua (the science arbiter) tentu penting. Namun, peran ketiga dan terutama keempat amat penting dalam politicization of science. Para calon pemimpin layak menyodorkan siapa ilmuwan terpilih yang menjadi penasihat kepresidenan dan rencana program mereka. Ilmuwan di luar sistem mengkritisinya sehingga politicization of science menemukan opsi terbaik.

Belajar dari Jepang, penasihat sains kepresidenan mengusulkan negara memberikan insentif bagi sektor industri yang berhasil mengurangi emisi karbon tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi. Dengan cara ini sektor industri bersandar pada penelitian dan advancement di bidang emisi karbon (bergantung peran the honest broker). Pertalian ilmuwan dengan politik dan policy tak mungkin dihentikan.

Elisabeth Rukmini Staf Akademik Unika Indonesia Atma Jaya Jakarta; Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kimia Miami University, Oxford, Ohio, AS

Tidak ada komentar: