Kamis, 04 Juni 2009

"Psefologi" (untuk) Demokrasi

Aloys Budi Purnomo

Kampanye calon presiden-calon wakil presiden dimulai. Kampanye adalah cara menjual citra! Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto sudah menjual citra secara simbolik melalui interpretasi atas nomor urut mereka.

Sebagai pemilik nomor urut 1, Megawati-Prabowo yakin itu tanda-tanda kemenangan. SBY-Boediono menafsirkan nomor urut 2 sebagai nomor pilihan Tuhan. Bagi JK-Wiranto, nomor urut 3 adalah berkah.

”Psefologi” demokrasi

Benarkah nomor urut 1 merupakan tanda kemenangan, nomor 2 pilihan Tuhan, dan nomor 3 berkah? Penentuannya di tangan rakyat pemilih!

Cara rakyat menentukan pilihan itulah yang akan disebut psefologi (untuk) demokrasi. Dalam bahasa Yunani, psefologi berakar pada kata psephos: batu-batu kerikil atau koral. Kata itu muncul dari kebiasaan masyarakat Yunani Kuno saat mereka memberikan suara dalam konteks kehidupan demokrasi paling asli.

Dalam memilih pemimpin atau menentukan suatu keputusan penting, mereka memberikan suara dengan menjatuhkan batu- batu kerikil berwarna ke satu tempat sebagai kotak suara. Sebelum menentukan suara, mereka berpikir tentang para kandidat sambil mengajukan tiga pertanyaan pokok.

Pertama, untuk siapa kerikil akan dijatuhkan? Kedua, mengapa kerikil dijatuhkan? Ketiga, bagaimana kerikil itu dijatuhkan demi masa depan mereka?

Dengan demikian, proses menentukan pilihan didasari pada rasionalitas yang bertanggung jawab, bukan asal menjatuhkan kerikil. Dari praktik itulah muncul istilah psefologi, proses pembelajaran berbagai pemilihan yang menentukan masa depan kehidupan bersama, bukan atas dasar emosionalitas irasional.

Psefologi lantas bermakna untuk demokrasi. Menurut Richard M Scammon dan Ben J Watternberg, dalam konteks kehidupan demokrasi di Amerika Serikat, psefologi bahkan merupakan an extraordinary examination of the American electorate! Artinya, pemberian suara merupakan bagian proses memilih guna menentukan masa depan yang memerlukan kecerdasan untuk mewiweka (examination) sepak terjang kehidupan para kandidat.

Masa kampanye merupakan masa psefologi demokrasi, proses democratic discernment; mengasah kecermatan mendeteksi gerakan hati sehingga tidak salah mengambil keputusan dalam menentukan pilihan.

Bukan sekadar konsumen

Menurut Arnold Steinberg, dalam Political Campaign Management (1981:261), psefologi demokrasi merupakan respons atas kampanye politik. Memang tujuan utama dari kampanye politik adalah cara menarik hati rakyat dan menjadikan sang kandidat terpilih dan menang.

Dalam kampanye, sama seperti iklan, produk ditawarkan! Kampanye juga suatu pemasaran. Produknya adalah sang kandidat dengan segala keunggulan dan sedikit kelemahannya; ibarat kecap selalu nomor satu!

Namun, rakyat pemilih harus tetap waspada. Kriteria kewaspadaan bisa dicermati dari kualifikasi sang kandidat. Penampilannya secara fisik lahiriah, citra pribadinya, rekam jejak karier politiknya, serta pendiriannya tentang berbagai persoalan dan cara menyikapi serta mengatasinya. Termasuk yang harus dicermati adalah afiliasi atau koalisi kepartaiannya, bahkan ideologi terkait dengan masa depan bangsa!

Rakyat pemilih bebas mendukung sang kandidat, menolak, atau bahkan tidak mendukung siapa pun! Tergantung dari apakah produk itu cocok dan berguna untuk keutuhan masa depan bangsa, kesehatan demokrasi, dan kesejahteraan rakyatnya!

Maka, rakyat Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu presiden 8 Juli 2009 memang laksana konsumen yang harus jeli untuk membeli produk terbaik dari ketiga capres- cawapres: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, atau JK-Wiranto.

Harus disadari, rakyat pemilih jangan menjadi konsumen yang konsumeristis, terbuai politik uang, janji palsu, habis manis sepah dibuang! Jangan terkelabui manuver politik nafsu berkuasa kandidat yang mengakibatkan proses demokratisasi kita sarat dengan intrik dan kompromi politik pragmatis dan oportunistis, tebar pesona dan janji kosong, serta perselingkuhan politik manifestasi keserakahan demi mengejar nikmat kekuasaan! Di sinilah pentingnya psefologi demokrasi.

Karena itu, masa kampanye bukan saja penting bagi para kandidat dalam menjual produknya, tetapi terutama juga penting bagi rakyat sebagai konsumen untuk memperoleh pemahaman sebanyak mungkin yang akan menjadi bekal dan alasan untuk memutuskan apakah nomor 1 memang tanda-tanda kemenangan, nomor 2 pilihan Tuhan, dan nomor 3 adalah berkah.

Kemenangan, pilihan Tuhan, dan berkah bukan saja untuk para capres-cawapres, tetapi juga untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang tetap berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan menjadikan NKRI sebagai harga mati!

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan; Pemred Majalah Inspirasi, Ketua Komisi HAK Keuskupan Agung Semarang

Tidak ada komentar: