Kamis, 04 Desember 2008

Antara Komitmen dan Citra Politik

Tahun anggaran 2009, pemerintah bertekad memenuhi amanat konstitusi dalam pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20 persen meskipun kondisi anggaran yang tersedia masih sangat terbatas.”

Demikian ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR di Jakarta pada 15 Agustus 2008. Amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang memerintahkan negara mengalokasikan minimal 20 persen APBN untuk pendidikan akhirnya bakal terpenuhi untuk pertama kalinya pada tahun 2009.

Pemenuhan anggaran pendidikan secara nasional ini bisa dibilang sebagai kado indah pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Upaya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan pihak lain yang tidak putus asa memperkarakan kelalaian pemerintah memenuhi anggaran pendidikan sesuai konstitusi ke Mahkamah Konstitusi itu akhirnya berbuah manis walaupun diwarnai silang pendapat.

Optimisme pada komitmen negara dalam bidang pendidikan mulai tumbuh beriringan dengan munculnya skeptisme pada kemampuan pengelolaan anggaran yang cukup besar itu secara efisien, efektif, dan tepat sasaran. Meski demikian, ada pula yang melihat komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu sekadar upaya menaikkan citra politik menjelang Pemilu 2009.

Komitmen itu pun dianggap tidak sepenuh hati karena anggaran untuk gaji pendidik, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi, masuk dalam anggaran pendidikan. Dengan demikian, kenaikan anggaran pendidikan kurang bermakna karena sebagian besar tersedot untuk membayar gaji dan tunjangan pendidik.

Baru sebatas BOS

Anggaran pendidikan yang dikelola pemerintah lumayan besar, yakni Rp 207,1 triliun. Anggaran ini tersebar di Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dana alokasi umum (DAU) pendidikan di APBD, dan dana alokasi khusus (DAK) pendidikan. Ada pula dana bagi hasil pendidikan serta dana otonomi khusus pendidikan.

Karena besarnya dana yang bakal dikelola, pemerintah merasa percaya diri membicarakan peningkatan mutu pendidikan. Meskipun pemerintah belum mau secara tegas mengatakan mulai tahun depan pendidikan dasar gratis, setidaknya ada janji bahwa pendidikan di SD dan SMP harus semakin murah dan bermutu.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo hanya mengatakan, seharusnya pendidikan dasar pada tahun 2009 sudah bisa gratis jika pemerintah provinsi atau kabupaten/kota juga membantu biaya penyelenggaraan pendidikan dasar.

Tanpa bantuan itu, mustahil pendidikan dasar gratis terselenggara. Maklum, walaupun dana bantuan operasional sekolah (BOS) dinaikkan, jumlahnya tetap saja masih jauh dari cukup untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu.

BOS untuk siswa SD di kabupaten, misalnya, naik dari Rp 254.000 per siswa setiap tahun menjadi Rp 397.000 per siswa setiap tahun, sedangkan di kota menjadi Rp 400.000 per siswa setiap tahun. Adapun BOS siswa SMP yang asalnya Rp 354.000 per siswa setiap tahun sekarang naik menjadi Rp 570.000 per siswa setiap tahun untuk yang tinggal di kabupaten dan menjadi Rp 575.000 untuk siswa di perkotaan.

Di jenjang pendidikan menengah, program bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) tingkat SMA yang dulu dihitung per sekolah sekarang dihitung per siswa seperti BOS. Untuk SMA besarnya Rp 90.000 per siswa tiap tahun, sedangkan siswa SMK mendapat Rp 120.000 per siswa tiap tahun

”Peningkatan anggaran pendidikan itu sangat bermanfaat bagi siswa dan sekolah. Yang penting sekarang adalah konsistensi program dan anggarannya,” kata Dwi Markoni, Ketua Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia.

Janji yang juga mencolok adalah soal kesejahteraan guru. Guru pegawai negeri sipil (PNS) dijanjikan gaji terendah mulai tahun 2009 sebesar Rp 2 juta per bulan. Tunjangan fungsional untuk guru non- PNS juga ditambah, lalu tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok guru PNS per bulan bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik.

Peningkatan kualitas dan profesionalisme guru dan dosen juga bakal ditingkatkan. Hal lainnya adalah perbaikan semua gedung sekolah yang rusak dan nyaris ambruk, biaya penelitian, hingga pemberian beasiswa pendidikan bagi pelajar yang berprestasi di ajang olimpiade internasional.

Pengawasan anggaran

Wacana yang mencuat seiring terpenuhinya anggaran pendidikan 20 persen dari APBN adalah soal pengawasan penggunaan anggaran pendidikan. Selama ini, Departemen Pendidikan termasuk salah satu lembaga yang dinilai rawan korupsi dan penyimpangan.

Tudingan itu bukan tanpa alasan. Sebagai gambaran, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sampai dengan semester II tahun anggaran 2007 terhadap Departemen Pendidikan Nasional tidak terlalu menggembirakan. Temuan BPK mencapai Rp 852,6 miliar antara lain berkaitan dengan denda yang belum dipungut, pemborosan, tanpa bukti pertanggungjawaban, tidak tepat sasaran, dan permasalahan pengelolaan aset.

Potensi korupsi perlu diwaspadai, mulai dari tingkat pusat, dinas pendidikan, dan level sekolah. ”Penggunaannya perlu diawasi agar benar-benar untuk kebutuhan riil pendidikan,” ujar Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan.

Anggaran pendidikan selama ini juga dinilai lebih melayani kepentingan birokrat daripada masyarakat. Hal ini sejalan dengan hasil kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Sebesar 60-70 persen dari APBN 2007 terkuras untuk biaya birokrasi pemerintah, legislatif, dan aparat hukum.

Adapun Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) Depdiknas hanya mencadangkan 15 persen atau Rp 7,5 triliun dari Rp 51,3 triliun anggarannya untuk rehabilitasi sekolah, beasiswa, dan perpustakaan. Sisanya untuk program yang tidak berkaitan langsung dengan pendidikan, seperti administrasi kepegawaian, sarana dan prasarana kantor, serta perjalanan dinas.

Dalam kasus pengajuan anggaran perbaikan sekolah rusak, DPR meragukan validitas data sekolah rusak yang disodorkan pemerintah pada saat pembahasan anggaran DAK pendidikan untuk APBN 2009. Keraguan muncul karena data itu hanya meliputi 28 dari 33 provinsi dan hanya 291 kabupaten/kota dari sekitar 347 kabupaten dan kota yang ada. Ketidakakuratan ini memicu protes anggota panitia anggaran yang mendapati daerah pemilihannya tidak mendapatkan pagu DAK.

Ketidakberesan ini menyebabkan panitia anggaran tidak mengalokasikan DAK untuk rehabilitasi sekolah secara penuh, yakni Rp 9,3 triliun, melainkan dicairkan secara bertahap.

Bambang Sudibyo mengakui soal manajemen anggaran yang masih lemah. Karena itu, perbaikan kinerja pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran terus dilakukan. ”Tidak boleh ada lagi laporan disclaimer dari BPK,” ujar Bambang.

Pengawasan juga akan dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Anggota KPK akan mengawasi proses penyusunan anggaran pendidikan oleh Depdiknas dan Komisi X DPR. Kehadiran KPK dalam rapat-rapat penyusunan anggaran pendidikan itu sebagai upaya pencegahan terjadinya korupsi. Seperti dikatakan Ketua KPK Antasari Azhar, lembaga itu hanya bertindak sebagai peninjau, tidak terlibat dalam pengambil kebijakan.

Persentase anggaran pendidikan pada akhirnya bukan persoalan bilangan yang ternyata dapat ditekak-tekuk, tetapi komitmen terhadap pembangunan pendidikan yang sungguh-sungguh. Harapannya, agar setiap rupiah adalah untuk pendidikan. Masyarakat menunggu buktinya.
(Ester Lince Napitupulu)

Tidak ada komentar: