Minggu, 07 Desember 2008

Kendala Pencalonan Presiden


Undang-Undang Pemilihan Presiden (UU Pilpres) Tahun 2008 telah menentukan syarat baru bagi pengusul calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres).

Partai politik atau koalisi parpol hanya dapat mengusulkan calon jika memiliki 20% kursi DPR atau 25% suara pemilu. Syarat ini jauh melampaui syarat Pilpres 2004, yaitu hanya 3% kursi DPR atau 5% suara hasil pemilu. Meski akhirnya menyetujui, sebetulnya Partai Demokrat (PD) dan Partai Amanat Nasional (PAN) berkeberatan. PAN bahkan menyampaikan keberatan tertulis di DPR (minderheids nota). Sebanyak 18 parpol kecil, termasuk parpol baru, dikabarkan mempersoalkannya.

Partai Bulan Bintang (PBB) pun, yang menyetujui syarat tersebut di DPR, kini memohon pengujiannya di Mahkamah Konstitusi (SINDO, 2/12/2008). Jika syarat baru tersebut dinilai inkonstitusional, dapatkah syarat lama dikatakan konstitusional? Jika syarat baru dibatalkan MK, syarat mana yang akan diberlakukan dan oleh siapa? Mengapa Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bersemangat menyetujui syarat yang semakin berat? Apa sebabnya dan atau untuk apa?

Syarat Konstitusional

Sesungguhnya Pasal 6A UUD 1945 hanya mengharuskan parpol pengusul capres-cawapres sebagai peserta pemilu. Konstitusi tidak menyebut syarat perolehan kursi parlemen atau suara hasil pemilu, tidak pula mengharuskan pengusulan dilakukan setelah pemilu parlemen yang akan datang.

Perdebatan ketika amendemen UUD 1945 membuktikan hal ini, meskipun dipenuhi nuansa peran dan monopoli parpol dalam pilpres (Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, Buku IV Jilid 1 dan Buku V). Karena itu syarat baru dalam UU Pilpres 2008 dapat dikatakan inkonstitusional. Tetapi parpol peserta Pemilu 2004, apalagi parpol yang memiliki kursi di DPR saat ini, masih harus membuktikan kerugian konstitusional yang diderita karena syarat baru tersebut.

Bukankah parpol besar atau kecil peserta pemilu 2004 telah memiliki kursi DPR dan atau suara pemilu sehingga dapat melakukan negosiasi politik untuk berkoalisi, meskipun syarat baru tersebut memberatkan? Parpol baru tidak ikut bermusyawarah dan memutuskan syarat baru di DPR serta tidak memiliki perolehan suara sedikit pun sebelum Pemilu 2009 membuktikannya.

Syarat parpol sebagai peserta pemilu, menurut Pasal 6A di atas, sudah menuntut parpol baru untuk memiliki cabang di berbagai daerah sebagaimana ditentukan dalam UU Pemilu. Penambahan syarat lain akan memberatkan parpol baru, apalagi suara dukungan rakyat tidak dapat diperoleh kecuali menunggu pemilu. Andaikata parpol baru menjadi pemohon pengujian syarat baru dalam pencalonan presiden/wapres, dengan kemungkinan dikabulkan MK, persoalan masih tersisa.

Pembatalan syarat baru berimplikasi "mengembalikan" syarat ke angka lama, yaitu 15% kursi DPR atau 20% perolehan suara pemilu (UU Pilpres 2003). Haruskah syarat ini diterima konstitusionalitasnya oleh parpol baru? Bukankah para capres/cawapres dan parpol memanfaatkan syarat yang lebih ringan dalam Pilpres 2004, yaitu hanya 3% kursi DPR atau 5% suara pemilu? Nah, sekaligus saja syarat tersebut disesuaikan dengan UUD 1945, yaitu parpol pengusul capres-cawapres adalah peserta pemilu.

Ini akan membuka peluang capres/cawapres yang potensial untuk membuyarkan konsentrasi suara capres/cawapres dari koalisi parpol yang "mapan". Implikasi selanjutnya adalah kemungkinan capres/ cawapres dari parpol kecil, bahkan tanpa kursi di DPR, memenangi Pilpres 2009. Ia akan menghadapi tantangan yang serupa dengan presiden dari parpol minoritas, yaitu kebisaan memerintah (governability) di hadapan parlemen yang tidak dikuasainya.Tantangan nyata dalam konteks multipartai adalah membangun koalisi untuk memerintah.

Kegagalan Berkoalisi

Sesungguhnya syarat baru tersebut juga memantulkan kegagalan parpol dalam berkoalisi dan menentukan pasangan capres/cawapres. Perhatikan kondisi berikut. Golkar dan PDIP sudah dapat mengusulkan capres-cawapres berdasarkan UU Pilpres 2003, yaitu 15% kursi DPR atau 20% suara pemilu.

Karena itu, melalui Menteri Sekretaris Negara dan Partai Demokrat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ingin menerapkan UU Pilpres 2003 daripada menyetujui syarat yang semakin sulit dijangkau. Berat bagi Demokrat untuk menaikkan perolehan 7% menjadi 20 persen kursi. Syarat baru mengharuskan SBY/Partai Demokrat menawar mahal mitra koalisi, kecuali dapat melipatgandakan perolehannya.

Mengapa PDIP (19,82% kursi DPR atau 18,53% suara pemilu) menyetujui syarat baru, yang menempatkan Golkar sebagai pengusul tunggal (23,27% kursi DPR atau 21,58% suara pemilu)? PDIP jelas belum memperoleh mitra koalisi maupun pendamping capres Megawati Soekarnoputri. Komunikasi PDIP dan PKS menjadi hiasan berita tanpa kejelasan mengenai rencana koalisi keduanya, lebih-lebih setelah PKS mengumumkan daftar capres. PKS tak merugi melakukannya.

Mengapa Partai Demokrat dan Partai Golkar belum resmi memasangkan SBY-Kalla, meskipun keduanya mencukupi syarat 20% kursi DPR? Karena popularitas Jusuf Kalla merosot, meskipun perolehan Golkar diprediksi naik? Atau, menurut Golkar, karena kinerja Demokrat masih harus ditingkatkan dan pemerintahan SBY harus memperbaiki kinerja menghadapi dampak krisis keuangan global? Artinya, SBY-JK pun harus serius memperbaiki kinerja ekonomi pemerintah.

PAN semula bersedia sekata dengan SBY/Partai demokrat. Sikap ini juga memantulkan konteks obyektif PAN yang harus mengantisipasi penyempitan peluang berkoalisi, jika dukungan dari konstituen tradisionalnya direbut Partai Matahari Bangsa (PMB). Namun, karena tokoh PAN Amien Rais mengancam agar PAN mengajukan capres/cawapres, atau dia akan turun gelanggang, akhirnya PAN menyampaikan nota keberatan atas syarat baru. Kalau Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terdengar tak berulah, kuat dugaan karena didera persoalan internal dan tanpa tokoh yang dapat diperhitungkan di tingkat nasional.

Inilah konsekuensi ketersingkiran (atau target penyingkiran) tokoh PKB Abdurrahman Wahid. Suara konstituen tradisional PKB pun dapat "dijual eceran" melalui partai-partai baru dan tokoh lain. Sebetulnya yang dibutuhkan adalah tindakan nyata berkoalisi. Tetapi, begitulah kalau pasangan capres atau cawapres belum dapat ditentukan dan koalisi memerintah belum disepakati.(*)

Mohammad Fajrul Falaakh
Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Tidak ada komentar: