Kamis, 04 Desember 2008

'Pemimpin Muda'


Resonansi
Oleh Zaim Uchrowi

Pekan silam nama saya disebut sebagai salah satu dari '100 Pemimpin Muda' Indonesia menurut Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Nama Aa Gym, Arifin Ilham, dan Erick Thohir juga masuk dalam daftar pemimpin muda lintas partai dan golongan itu. Tentu saya bersyukur dan berterima kasih atas penghargaan itu. Tapi, pada saat yang sama, saya juga bertanya-tanya pada diri sendiri: Apa makna penghargaan ini?

Dengan usia 48 tahun, saya bukan lagi muda walaupun sering ingin tetap dianggap muda. Suasana gedung Sabuga-Bandung malam itu membantu menjawab pertanyaan tersebut. Suasana itu sangat khas Bandung. Satu-satunya kota di muka bumi ini yang mampu menyatukan aroma agamis dengan budaya pop. Konser band dan syahdu ayat Alquran rapi berjalinan. Gelora dakwah dengan entakan irama rap-reggae-rock berpilin-pilin satu sama lain. Sebuah keadaan yang meyakinkan saya bahwa sebenarnya tidaklah penting siapa yang masuk dalam daftar '100 Pemimpin Muda' itu. Tidaklah penting nama saya atau nama siapa pun ada dalam daftar itu. Apalagi banyak nama lain yang layak untuk dipilih sebagai 'pemimpin muda' yang tersebar di seluruh negeri ini.

Yang terpenting dari acara itu tampaknya justru spirit yang melatarinya. Yakni, spirit untuk tidak begitu saja puas pada hal yang sudah ada. Spirit untuk memandang segala hal dengan cara pandang yang baru. Kemenangan Obama mungkin ikut menginspirasi penguatan spirit itu. Kemenangan Obama bukan sekadar kemenangan kubu Partai Demokrat di Amerika Serikat. Kemenangan itu, kata seorang kawan, merupakan kemenangan harapan universal masyarakat global yang memandang bahwa sistem yang tengah berlaku saat ini tidak lagi memadai buat mengatur dunia.

Gegap gempita acara yang menghangatkan udara dingin Parahyangan itu mungkin akan membuat bingung banyak pihak. Membuat bingung para puritanis Islam. Membuat bingung pengamat Barat yang ingin melihat Islam dari sudut pandangnya sendiri. Di tengah pekik 'Allahu Akbar' serta 'Merdeka', di antara antusiasme para santri mengikuti 'Panggung Pemuda' itu, saya justru larut dalam perbincangan dengan diri sendiri. Bangsa ini, kata hati saya, memang tak lagi dapat dikelola dengan cara pandang lama. Bangsa ini memerlukan cara pandang yang sama sekali baru di semua aspek kehidupan.

Carut-marut ekonomi saat ini menegaskan bahwa Indonesia memang memerlukan cara pandang yang sama sekali baru. Seperti di awal 1990-an, langkah perekonomian kita yang dipuji masyarakat Internasional terbukti rapuh dan rentan terhadap guncangan ekonomi dunia. Kita bahkan lebih rentan dibanding banyak negara lain yang kebijakan ekonominya 'kalah canggih' dibanding kita. Tanpa cara pandang baru mengelola ekonomi ke depan, Indonesia menjadi seperti keledai: akan selalu terantuk batu yang sama di dalam perekonomian.

Di kancah politik demikian pula. Politik kita telah mampu memenuhi harapan asasi manusia untuk bebas berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat. Namun, politik yang ada masih jauh untuk dapat efektif memakmurkan masyarakat seperti yang dicita-citakan melalui kemerdekaan. Tanpa cara pandang baru, politik akan terus berputar-putar sekadar sebagai alat pemenuhan kepentingan pribadi para pelakunya, namun tak akan banyak memberi manfaat bagi masyarakat luas.

Masalah kependudukan dan lingkungan juga memerlukan cara pandang baru. Tanpa cara pandang baru, jumlah penduduk berkualitas rendah akan semakin meledak. Air bersih, udara segar, dan kehijauan alam akan rusak. Bencana juga akan semakin bertubi-tubi. Pemahaman keagamaan pun memerlukan cara pandang baru. Tanpa cara pandang baru pemahaman keagamaan hanya akan menjadi beban, bukan berkah, bagi terbangunnya peradaban.

Acara peneguhan 'Pemimpin Muda' di Bandung itu memperkuat keyakinan saya. Bangsa ini memang memerlukan cara pandang yang sama sekali baru dalam setiap hal. Keyakinan itu yang perlu kita tumbuhkan di setiap tarikan napas, di setiap detak denyut nadi, agar bangsa dan negara ini benar-benar menjadi bangsa dan negara bermartabat serta berjaya.

Tidak ada komentar: