Senin, 22 Desember 2008

Normalisasi Sosial


William Chang

Sebuah proses normalisasi sosial sangat dibutuhkan karena seluruh globus sedang sakit dan mengalami great warming (bdk B Fagan, The Great Warming: Climate Change and the Rise and Fall of Civilizations, 2008).

Sejak terjebak kejahatan, manusia mengalami proses denormalisasi sosial berupa gerakan premanisme yang mengultuskan teori survival of the fittest. Penyalahgunaan kuasa dalam wujud tindak kekerasan dan hukum rimba meruntuhkan peradaban manusia. Politik homicide gaya Herodes termasuk aksi denormalisasi sosial. Proses sosial ini dikategorikan sebagai langkah awal kekacauan sosial.

Gerakan imperialisme moral kontemporer memperparah denormalisasi ini melalui indoktrinasi dogmatis dalam masyarakat majemuk. Konvergensi moral bangsa kita seharusnya terbangun dari himpunan warisan kearifan lokal. Pentingnya tatanan normatif berupa hukum positif tidak diperhitungkan dalam hidup sosial. Akibatnya, peran norma sosial dirobohkan.

Rentetan konflik primordial di Kongo, Nigeria, India, dan tanah air lambat laun merombak seluruh sendi normalisasi sosial di tengah krisis global. Cetusan emosional yang berlebihan mencerminkan manusia hidup di luar garis norma kemanusiaan. Terasa dangkal pendidikan tentang etika sipil yang mempromosikan nilai-nilai global yang diterapkan secara lokal (etika global).

Normalisasi tatanan sosial

Menteri luar negeri Jerman, Frank-Walter Stienmeier dalam wawancara dengan Deutschland (Agustus/September 2008), antara lain, menekankan pentingnya Tatanan Antarbangsa Baru (New International Order) di tengah globalisasi yang mengalir kencang. Tatanan baru ini mengusung semboyan ”A Time to Make Friends” yang disosialisasi sejak 2006. Situasi dunia yang tidak normal perlu ditata ulang sambil memerhatikan isu-isu seperti perubahan iklim, menyusutnya SDA, konflik sosial, terorisme internasional, dan tatanan dunia yang berkutub majemuk. Stabilitas dan keamanan dunia perlu mendapat perhatian dalam proses normalisasi sosial ini.

Program normalisasi ini dimotori roh persaudaraan antarwarga dalam masyarakat majemuk. Keadilan dan kesejahteraan (sosial) diperjuangkan dalam proses ini. Krisis apa pun perlu di-manage agar tidak membahayakan seluruh tatanan sosial. Sebuah pendekatan sosiologis berwawasan komprehensif dan holistik akan menolong normalisasi ini sebab vested interests sering menungganggi sebuah kekacauan sosial. Sebenarnya, mengapa dan ada apa di balik kekacauan sosial?

Asas normalisasi sosial ini ditemukan dalam hati (heart) dan pikiran (head) setiap manusia yang berkehendak baik untuk mereformasi tatanan sosial yang menderita dan sakit melalui usaha terkecil dalam lingkup hidup masing-masing. Keterbukaan dan kejujuran dalam komunikasi sosial tak terhindarkan dalam masyarakat toleran. Topeng-topeng sandiwara dalam masyarakat kita sudah saatnya ditanggalkan agar dialog sosial tumbuh lebih baik.

Menyikapi pesan keagamaan

Tanpa menginstrumentalisasi dan memanipulasi peran agama, salah satu sumbangan konstruktif normalisasi sosial di tengah krisis global adalah pesan Natal PGI dan KWI 2008 yang terfokus pada masalah damai. Masalahnya, bagaimanakah damai bisa sungguh mendarat di bumi kita yang terpengaruh krisis global?

Menghadapi pengangguran massal pada tahun mendatang, damai akan terwujud jika kasus kelaparan dan kemiskinan teratasi. Kesejahteraan hidup ditingkatkan, antara lain dengan mengatur lalu lintas perekonomian pada skala terkecil sebagai langkah antisipatif kekacauan sosial. Tersedianya peluang kerja, makanan, minuman, pakaian, dan perumahan adalah modal dasar damai (W Brandt, 1980).

Selain itu, stabilitas dan keamanan bangsa menurut cita-cita pendirian bangsa termasuk penjinak aneka bentuk konflik sosial yang merugikan kehidupan bersama. Paradigma klasik yang memanipulasi konflik sosial sebagai pelestarian kekuasaan sudah saatnya ditinggalkan. Masa divide et impera sudah berlalu. Dinantikan sebuah manajemen yang sanggup mentransformasi atmosfer konfliktual menjadi wadah harmonisasi antaranasir sosial.

Proses normalisasi sosial bakal menyeimbangkan perilaku agresif dan destruktif manusia (Erich Fromm) dengan pembentukan sikap antikekerasan (rumah tangga, sekolah, tempat kerja dan masyarakat) sehingga terwujud kesejukan sosial. Normalisasi ini menyuburkan benih kemanusiaan dan menjinakkan unsur hewani dalam diri manusia. Pendekatan humaniora menjadi langkah awal normalisasi sosial.

Normalisasi ini akan lebih cepat terwujud jika tiap anak bangsa menjadikan hatinya sebagai tempat persemaian benih-benih damai yang menyejukkan diri dan sesama. Nilai-nilai di balik norma-norma etis, religius, hukum, politik, ekonomi dan kebudayaan diwujudkan dalam hidup harian.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

Tidak ada komentar: