Rabu, 24 Desember 2008

LSM Harus Mandiri soal Dana


Juwono Sudarsono: Jangan Jadi Preman Moral
Rabu, 24 Desember 2008 | 02:57 WIB

Jakarta, Kompas - Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono meminta lembaga swadaya masyarakat bisa benar-benar sepenuhnya menerapkan keswadayaan atau kemandirian, terutama terkait pendanaan, sehingga tidak bergantung sepenuhnya pada pendonor asing.

Jika tidak, keberadaan LSM, menurut Juwono, hanya sebatas meneruskan pesan dan isu pesanan dari LSM asing, seperti terjadi dalam sejumlah kasus. Dia menyebutkan, setidaknya LSM mampu mengadakan 20 persen pendanaannya secara mandiri.

Hal itu disampaikan Juwono, Selasa (23/12), di ruang tamu kantornya di Departemen Pertahanan, Jakarta, seusai menemui sejumlah anggota keluarga korban kasus Talangsari, Lampung, dan kasus orang hilang 1997-1998, yang didampingi Koordinator Kontras Usman Hamid.

”Kesan saya, sebagian LSM itu masih banyak yang 80 persen dananya dari asing. Ke sejumlah LSM asing yang pernah datang kemari, seperti Amnesti Internasional atau Human Rights Watch, saya katakan jangan jadi ’preman moral’ atau moral bully,” ujar Juwono.

Menurut Juwono, dengan menjadi ”preman moral” seperti itu, LSM-LSM asing kemudian menjadi merasa paling benar sendiri soal Indonesia. Mereka selalu mengatasnamakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, padahal yang terjadi di sejumlah negara maju sendiri justru kadang terbalik.

Juwono menceritakan, dia pernah mendatangi markas Human Rights Watch saat masih menjabat Duta Besar RI untuk Inggris. Saat itu Pemerintah Inggris, atas desakan LSM di sana, menggugat penggunaan tank jenis Scorpion oleh TNI di Aceh.

Kepada Human Rights Watch, Juwono menegaskan, penggunaan tank oleh TNI di Aceh sah-sah saja mengingat yang dihadapi di daerah tersebut saat itu adalah bentuk perlawanan bersenjata. Para separatis tersebut berupaya ingin memisahkan dan memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara terang-terangan.

”Saya katakan kepada mereka saat itu, apa yang dilakukan TNI tidak beda dengan yang dilakukan di Inggris. Pemerintah Inggris mengirim operasi intelijen bersama polisi ke Irlandia Utara. Tidak beda, kan? Lantas, saya bilang ke Human Rights Watch, mengapa Anda secara munafik menilai yang terjadi di Indonesia salah dan di Inggris tidak?” ujar Juwono.

Juwono meminta semua pihak paham bahwa tidak semua yang terkait sipil pasti prodemokrasi dan semua yang terkait militer pasti selalu melanggar HAM berat.

Selain itu, Juwono juga meminta LSM tidak hanya menjadi semacam ”industri hati nurani”, yang kelangsungan hidupnya bergantung pada kasus-kasus tertentu.

Saat dihubungi secara terpisah, sejumlah aktivis LSM meminta Juwono lebih spesifik menyebut LSM mana yang dia maksud. Agus Sudibyo dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi dan Usman Hamid dari Kontras meminta Menteri Pertahanan tidak menggeneralisasi dan bersikap apriori. Keduanya berpendapat, bahkan negara pun masih bergantung pada pendonor luar negeri.

”Sepanjang bisa dipertanggungjawabkan, akuntabel, dan independen, penggunaan dana dari pendonor asing tak perlu dipersoalkan. Malah pemerintah, kan, jauh lebih besar dalam menerima bantuan asing, yang justru berbentuk utang luar negeri dengan konsekuensi jauh lebih serius,” ujar Agus.

Usman menambahkan, pemerintah jangan menggunakan isu macam itu untuk menghindari kritik dari LSM. Dia memastikan saat ini Kontras bahkan mampu secara swadaya memenuhi lebih dari 20 persen kebutuhan pendanaannya.

Usman menyarankan pemerintah seharusnya bisa konkret ikut membantu. Selama ini sejumlah LSM, seperti Lembaga Bantuan Hukum dan Kontras, secara rutin sudah melakukan advokasi terhadap masyarakat korban pelanggaran HAM. Sayangnya sampai sekarang belum ada inisiatif konkret negara mendanai pemberian bantuan hukum kepada warga negaranya yang buta hukum. (DWA)

Tidak ada komentar: