Senin, 22 Desember 2008

Nahdlatul Ulama dan Pancasila


Salahuddin Wahid

Pada tahun 1982/1983 Pancasila sebagai asas organisasi adalah isu politik yang panas. Ada kecenderungan, akan ada keharusan bagi semua orpol dan ormas untuk memakai Pancasila sebagai asas. Ketentuan itu dibuat karena ada kekhawatiran bahwa ormas atau parpol Islam masih memperjuangkan negara Islam.

Untuk menanggapi hal itu dan banyak masalah lainnya, para ulama senior di dalam Syuriyah NU mengambil prakarsa untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, diselenggarakan Desember 1983 di Pesantren Sukorejo, Situbondo.

Tanggal 21 Desember 1983 munas memutuskan untuk menerima Pancasila dan memulihkan NU menjadi organisasi keagamaan sesuai Khitthah 1926. Keputusan itu dikukuhkan Muktamar NU XXVII, Desember 1984. NU adalah ormas Islam pertama yang menerima asas Pancasila. Muhammadiyah menerimanya setelah terbitnya UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dasar pemikiran

Untuk menyusun dasar pemikiran bagi sikap NU menanggapi kecenderungan kebijakan pemerintah tentang asas Pancasila, Syuriyah NU meminta sejumlah kiai untuk menyampaikan pemikirannya. Yang paling menonjol ialah KH Achmad Siddiq, alumnus Pesantren Tebuireng yang pernah menjadi asisten KH A Wahid Hasyim.

Menurut Kiai Achmad, pencantuman asas Islam sama dengan pencantuman asas marxisme, liberalisme, dan sebagainya. Berarti, menjadikan Islam sejajar dengan isme-isme lain. Islam yang dijadikan asas adalah Islam dalam arti ideologi, bukan agama. Ideologi adalah karya manusia, tidak akan mencapai derajat menjadi agama, tidak terkecuali Pancasila.

Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain.

Menurut Kiai Achmad Siddiq, salah satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran yang datang dari dua arah.

Salah satu langkah dalam mengembalikan kepercayaan bahwa Islam bukan merupakan bahaya laten atau oposan bagi negara adalah menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Argumentasi Kiai Achmad Siddiq itu ternyata hanya diterima oleh dua penanggap, 34 penanggap menentang. Dari 100 anggota komisi Khitthah NU, sebagian besar memasalahkan asas Pancasila itu.

Jawaban beliau, ”Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita kunyah selama 38 tahun, kok baru kita persoalkan halal dan haramnya.” Lalu diungkapkan, empat ulama besar NU—KH As’ad Syamsul Arifin, KH Mahrus Ali, KH Masykur, dan KH Ali Ma’syum—mendukung makalahnya itu.

Hubungan Islam-Pancasila

Munas Ulama NU 1983 memutuskan untuk menerima Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila, yang isinya: pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukan agama, dan tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat digunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

Kedua, sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia, menurut >kern 552m<>h 9737m,0<>w 9737mkern 251m<>h 9738m,0<>w 9738m

Ketiga, bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.

Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan wujud upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.

Kelima, konsekuensi dari sikap itu, Nahdlatul Ulama wajib mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Kiai Achmad Siddiq menegaskan, ”Bagi NU, Republik Indonesia berdasar Pancasila merupakan bentuk final dari upaya membentuk negara oleh seluruh bangsa Indonesia.”

Perkembangan mutakhir

Keputusan NU itu berpengaruh besar terhadap hubungan agama dan negara. Berdirinya partai berasas Pancasila di kalangan NU (PKB) dan Muhammadiyah (PAN) adalah dampak nyata dari penerimaan Pancasila oleh ormas Islam. Meski NU kembali berasas Islam (1999), pengaruh penerimaan Pancasila itu sudah tertanam secara kuat dalam diri kebanyakan warga dan tokoh NU.

Meski NU telah 25 tahun menerima Pancasila, ternyata di kalangan NU masih ada perbedaan penafsiran terhadap hubungan agama Islam dan negara. Kita bisa melihat perbedaan (bahkan pertentangan) penafsiran itu antara lain dalam masalah UU Pornografi dan Ahmadiyah. Keadaan serupa tampaknya juga terjadi di kalangan Muhammadiyah.

Sejumlah kiai terkemuka PKNU dan PPP berbeda pandangan dengan Gus Dur dan kawan-kawan dalam sejumlah masalah mendasar terkait masalah di atas. Para kiai itu lebih kental keislamannya dan lebih konservatif.

Terkesan ada semacam ”kecurigaan” dari sejumlah kiai NU terhadap HAM. Majalah PCNU Jombang menurunkan tulisan, HAM menjadi semacam ”Maha Agama”. Syukur ada upaya untuk menjelaskan tentang HAM kepada kalangan pesantren, beberapa kali saya diundang untuk memberi ceramah. Upaya semacam ini perlu ditingkatkan agar pandangan kalangan pesantren lebih proporsional.

Hak ekonomi, sosial, dan budaya ternyata tidak mendapat banyak perhatian. Dalam Annual Conference on Islamic Studies (Departemen Agama, 2007), dari 35 makalah, tidak ada satu pun yang menyinggung hak ekosob. Tokoh-tokoh Islam yang membela HAM hanya membela hak sipil-politik, bukan hak ekosob.

Sila dari Pancasila yang selalu dibahas terkait hubungan Islam dan Pancasila hanya sila pertama. Sila keadilan sosial kurang mendapat perhatian. Sila terakhir dari Pancasila bukan merupakan sila yang harus diwujudkan paling akhir. Bahkan jika diwujudkan paling awal, maka sila lainnya akan lebih mudah diwujudkan.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar: