Jumat, 12 Desember 2008

LAPORAN DISKUSI AKHIR TAHUN POLITIK


Harap-harap Cemas pada Tahun Penentuan

Orang harap-harap cemas menanti Pemilu 2009. Bukan saja menunggu jawaban pertanyaan, apakah negeri ini akan berganti pemerintahan atau siapa pemenangnya, melainkan akankah Pemilu 2009 berjalan mulus dan kian menegaskan baiknya demokratisasi di negeri ini? Bagi masyarakat kebanyakan, mungkin pertanyaannya lebih simpel lagi: akankah pemilu atau pemerintah yang dihasilkannya akan menyejahterakan kehidupan mereka. Rakyat terlalu lelah hidup di tengah kesulitan yang tak usai.

Banyak yang membandingkan saat ini mirip dengan kondisi 1998 saat krisis ekonomi melanda dunia yang berimbas ke Indonesia. Persamaan itu bukan saja terletak pada rentang waktu yang hampir sama, yaitu 7-8 bulan, menjelang Mei 1998 dan kini April 2009. Setidaknya ada yang mempersepsikan jika pemerintah saat ini tidak mampu mengatasi krisis moneter, nasibnya akan sama seperti pemerintahan Orde Baru yang berhenti sebelum waktunya. Dampak ekonomi yang merugikan kelas menengah ke atas menyebabkan gelombang demonstrasi tidak hanya melibatkan mahasiswa, tetapi juga kelas menengah hingga ibu rumah tangga. Pemerintah yang tidak mampu menyelesaikan krisis tidak didukung lagi oleh rakyat.

Kondisi saat ini, saat harga kebutuhan pokok naik, penurunan standar kehidupan masyarakat di semua lapisan serta ancaman pemutusan hubungan kerja besar-besaran harus menjadi perhatian. Situasi itu bisa menjadi syarat yang mencekam untuk meletup menjadi sebuah kemarahan massal. Kondisi memburuk itu bisa menjadi pemicu seperti apa yang terjadi 10 tahun lalu. Sangat disayangkan lagi jika kondisi ekonomi yang memburuk itu berdampak pada demokratisasi yang sedang berlangsung gradual di negeri ini.

Namun, pendapat lain menyebutkan, kondisi saat ini tidaklah sama persis dengan saat turunnya pemerintahan Orde Baru. Saat itu proses pergantian pemerintahan diibaratkan sebuah teater, kabuki, proses politik sebenarnya hanya terjadi di tingkat elite politik. Bahkan, soal kerusuhan Mei 1998 pun, ada pendapat, hal itu bukan murni kerusuhan massa kelas bawah. Pertikaian antarelitelah, dengan menggerakkan massa yang memang terkondisikan, yang menyebabkan negeri ini membara saat itu. Tidak ada proses pemilu sebagai cerminan suara rakyat untuk menarik dukungan kepada pemerintahan Orde Baru saat itu. Demikian juga dengan proses yang terjadi hingga di Sidang Umum MPR sangat elitis dan tidak ada rakyat yang bisa menghentikannya.

Sedangkan saat ini, proses pemilu sebagai bagian dari proses demokratis akan dijalankan rakyat. Pemerintahan yang sudah berjalan empat tahun ibaratnya akan menghadapi ujian puncak tahun depan. Rakyat akan menentukan lulus tidaknya pemerintah untuk menghentikan atau meluluskan, melanjutkan pemerintahannya melalui proses demokrasi. Jika membandingkan kondisi saat ini dengan 10 tahun lalu, kini lebih beruntung karena ada proses demokrasi.

Membaik atau memburuknya krisis ekonomi ini akan memengaruhi sikap masyarakat terhadap pemerintah. Namun, hal itu tetap saja dengan catatan, ada kecenderungan masyarakat tetap memilih pejabat yang masih menjabat (incumbent) walau performanya biasa saja. Tidak dimungkiri, negeri kita saat ini membutuhkan seorang pemimpin yang tegas dan memiliki visi kuat. Kultur politik saat ini membutuhkan orang yang santun, bersahabat, dan memiliki kultur Jawa yang kuat.

Pemilu mendatang juga menjadi sangat menarik karena 38 partai politik akan bertarung. Banyaknya parpol ini juga sebenarnya merupakan anomali bagi Indonesia. Parpol sebanyak itu juga belum tentu berdiri atas keinginan rakyat. Fenomena yang terjadi adalah parpol itu didirikan sekelompok orang atau elite yang memiliki uang. Elite politik atau mereka yang beruang banyak ini tak dimungkiri memiliki ekspektasi kuat ingin meraih kekuasaan. Parpol semacam ini dibentuk lepas atau tak memiliki ideologi dan itu menjadi persoalan tersendiri bagi negeri ini. Bahkan, jika ada parpol baru, aktivis di daerah akan menyambutnya karena mereka menaruh harapan. Parpol dianggap sebagai sebuah peluang untuk memperoleh pekerjaan.

Bukan rahasia lagi jika parpol yang berlimpah uang mendapat sambutan luar biasa di tingkat daerah. Dengan kondisi seperti ini, pemilih tradisional, dengan pengetahuan politik yang terbatas, akan menentukan pilihannya tak berdasarkan pada ideologi. Politik uang dan pendekatan personalah yang akan menentukan. Tak mengherankan pula jika poster, spanduk, atau baliho yang bertebaran di seluruh penjuru kampung dan kota hanya berisi gambar calon anggota legislatif parpol tertentu.

Dengan kondisi seperti ini, diperlukan sebuah desain untuk mengembangkan demokratisasi Indonesia yang tidak hanya demokrasi yang prosedural, tetapi juga perlu diikuti pendidikan politik agar rakyat benar-benar mengerti makna sebuah proses demokrasi, yakni pemilu.

Dalam kondisi ”pembelajaran” demokrasi itu pula, masih ada semacam kesenjangan antara proses politik di kalangan elite dan rakyat sebagai konstituen. Walaupun bukan hal baru, salah satu hal yang menonjol dalam peta parpol saat ini adalah berkembangnya politik dinasti, di mana elite parpol terdiri atau dipasang tokoh yang memiliki hubungan kekerabatan, hubungan darah atau kekeluargaan dengan elite parpol itu. Kepengurusan parpol atau calon anggota legislatif dari parpol tertentu hanya terdiri dari orang yang memiliki hubungan kerabat atau keluarga.

Kemunculan secara kolektif perekrutan politik yang tidak melalui meritokrasi, tetapi melalui politik dinasti ini mengkhawatirkan. Walaupun merupakan hal yang jamak di Asia, kemunculan politik dinasti yang semakin kuat itu bukan saja dominan di tingkat pusat, tetapi juga di tingkat lokal. Demokratisasi tumbuh positif, tetapi di tingkat elite malah berkembang politik dinasti. Pada saat ruang publik terbuka dan massa lebih rasional, pada saat bersamaan muncul politik dinasti yang menguat dengan duduknya sejumlah keluarga/keluarga dalam kepengurusan parpol atau pada pencalegan. (agus hermawan)

Tidak ada komentar: