Sabtu, 13 Desember 2008

LAPORAN AKHIR TAHUN MASALAH NASIONAL


Kepemimpinan Indonesia dalam Perubahan Dunia

Oleh BAMBANG SETIAWAN

Mampukah pemilu tahun depan melahirkan sosok kepemimpinan yang kuat, yang dapat membawa bangsa ini pada kedaulatan penuh dan bangkit dari krisis? Akankah Indonesia menjadi negara kuat dalam beberapa tahun ke depan? Dua pertanyaan ini bernada skeptis dan satire. Ketidakberdayaan seolah cerminan dari buruknya krisis ekonomi dunia dan miskinnya sosok alternatif pemimpin Indonesia.

Kini, Indonesia selain dihadapkan pada kenyataan desain konsep ekonomi baru internasional yang mungkin tumbuh dan berubah seiring dengan krisis dunia, juga problem internal yang pelik. Krisis finansial, energi, dan pangan bertaut dengan proses demokrasi yang rentan.

Dengan jumlah penduduk yang diproyeksikan lebih dari 228 juta jiwa tahun 2008, kebutuhan energi dan pangan dalam kenyataannya tak mudah ditopang oleh kontribusi sektor pertambangan dan pertanian dalam negeri yang justru makin kecil dalam beberapa dekade belakangan.

Dalam desakan pasar bebas yang dicanangkan, potensi penduduk lebih sebagai pasar konsumsi daripada produksi.

Dari semua perdebatan tentang krisis ekonomi saat ini, yang terpenting adalah wacana yang menggiring agar negara makin aktif berperan dalam mengatur kebijakan ekonomi, dan kalau perlu, kembali menjadi aparatus ekonomi. Sejak terpaan gelombang macetnya kredit perumahan dan runtuhnya harga saham di bursa Wall Street Amerika Serikat, imbasnya menenggelamkan harapan akan kemampuan pasar bebas untuk mengatur dengan tangannya sendiri.

Jika pasar bebas membutuhkan prasyarat demokrasi, pemusatan kekuatan negara membutuhkan prasyarat kepemimpinan ideal. Pemimpin ideal yang tahu arus pergerakan dunia sadar akan aliran kekuatan yang sedang membentuk keseimbangan dunia baru. Pemimpin yang meletakkan dasar ideologi negaranya dalam fungsi yang tepat mengagregasikan kedaulatan politik negaranya dalam tata ideal sebuah bangsa yang diperhitungkan.

Krisis ekonomi dunia menjadi musibah jika negara ini tergulung dalam arus krisis global, sekadar menjadi fondasi bagi terbentuknya kekuatan baru negara lain. Namun, tentu, krisis bisa menjadi berkah manakala aliran kekuatan yang sedang berjalan asimetris mampu ditangkap untuk menggerakkan turbin nasionalisme-ideologi negara bangsa yang menarik kumparan krisis ekonomi-politik dunia ke dalam susun bangun kekuatan baru. Apa yang dilakukan Presiden AS Franklin D Roosevelt menghadapi krisis dunia 1930 menjadi contoh yang baik dalam hal ini.

Depresi besar (Great Depression) yang mulai dari jatuhnya Wall Street Amerika Serikat pada Oktober 1929 dan mencapai puncaknya pada 1932 ditangkap sebagai tantangan baru. Dengan konsep New Deal, Presiden Franklin D Roosevelt membawa AS sebagai kekuatan yang makin dominan, baik dalam percaturan politik maupun ekonomi dunia.

Visi kepemimpinan

Indonesia dihadapkan pada tatanan dunia baru yang tampaknya sedang berubah, ditandai munculnya kekuatan baru dan krisis dunia. Tarik-menarik antara demokrasi sebagai prasyarat pasar bebas berhadapan dengan arus pemusatan kekuatan negara. Padahal, dalam demokrasi pun Indonesia masih tertinggal.

Meskipun Indonesia tercatat sebagai negara yang paling berani melaksanakan pemilu langsung, baik di level nasional maupun lokal, sejumlah kelemahan membuat demokrasi Indonesia tetap digolongkan ke dalam negara-negara demokrasi cacat (flawed democracies). Hasil kajian The Economist Intelligence Unit menunjukkan, walaupun pemilu demokratis sudah dilaksanakan sejak 1999, pada 2008 indeks demokrasi Indonesia masih berada dalam urutan ke-69 dari 167 negara yang disurvei.

Keraguan akan transparansi partai dalam penentuan kandidat anggota legislatif, politik uang, dan ketertutupan sumber keuangan partai menjadi sisi yang menyebabkan proses politik dinilai rendah. Lemahnya kemampuan negara dalam menjaga kedaulatannya dari kekuatan negara asing dan dari kepentingan ekonomi serta kelompok agama dan kekuatan domestik lainnya serta problem korupsi yang masif menjadikan indeks fungsi pemerintah juga rendah. Rendahnya keterwakilan perempuan dalam parlemen, serta belum berubahnya kultur politik antidemokrasi, menjadikan pesta demokrasi lebih bermakna seremonial dengan biaya besar.

Menempatkan konteks Pemilu 2009 dalam tatanan dunia yang berubah adalah sisi krusial yang akan menentukan masa depan Indonesia dalam percaturan internasional. Problem utamanya adalah bagaimana mencari pemimpin yang bisa menempatkan posisi Indonesia secara strategis, di antara kekuatan ideologis dan ekonomi baru dunia. Menguatnya posisi negara Afrika dalam percaturan ekonomi, konsolidasi sosialisme baru di Amerika Latin, kembalinya rezim pemusatan kekuatan negara Rusia, menguatnya ideologi kedaulatan negara bangsa seperti di Iran, dominasi Uni Eropa atas mata uang dunia, dan tumbuhnya raksasa ekonomi baru di kawasan Asia yang diwakili oleh China dan India menjadikan visi kepemimpinan Indonesia 2009 demikian penting. (BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: