Selasa, 09 Desember 2008

Perempuan dan Keraguan Parpol

Kunthi Tridewiyanti
Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se-Indonesia, Dosen Universitas Pancasila

Pascaterbitnya UU No 2 /2008 tentang Partai Politik dan UU No 10 /2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, aktivis perempuan belum bernapas lega. Pasalnya, jalan perempuan menuju kursi legislatif masih terjal.

Dari fakta di lapangan tercium sejumlah pihak masih saja tak sudi melaksanakan UU secara baik dan benar. Itu tecermin dari empat hal, yakni terkait dengan UU Pemilu mengenai perekrutan perempuan dalam daftar calon tetap dan sistem pemilihan umum dan terkait dengan UU Parpol mengenai kepengurusan dalam parpol dan pendidikan politik.

Pertama, potret buram implementasi tergambar dari tinjauan terhadap daftar calon tetap yang telah diterbitkan oleh KPU. Melongok pada isi daftar, terlihat parpol belum sepenuhnya memberikan peluang dan kesempatan kepada caleg perempuan

Data nasional memang mencerahkan. Caleg perempuan tercatat 3.894 dari 11.225 (34,70 persen). Sekilas jumlah ini memenuhi amanat Pasal 52 yang menyatakan memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan, appalagi terlihat dari data KPU bahwa ada enam parpol yang tidak memenuhi bakal caleg sekurang-kurangnya 30 persen.

Enam parpol yang tidak memenuhi, yaitu Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Republika Nusantara (PRN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Patriot (PP). Namun, perlu sepenuhnya dipahami, 34,70 persen itu masih bakal calon yang belum tentu jadi. Berdasarkan Pasal 55 UU No 10/2008 berbunyi: ''(1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut. (2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal calon''.

Kenyataannya, pada DCT ternyata ketentuan ini masih belum diterapkan karena dari data KPU, perempuan yang berada pada nomor urut satu hanya 496 orang, pada nomor urut dua sebanyak 761 orang, pada nomor urut tiga sebanyak 1.013 orang. Jadi, secara kuantitatif posisi perempuan sebagai bakal calon itu tidak banyak di nomor urut satu dan dua yang kemungkinan besar menjadi calon jadi.

Tidak ada sanksi tegas
UU Pemilu memang ompong lantaran tidak dipersenjatai dengan sanksi tegas. KPU hanya memberikan sanksi ringan kepada parpol yang tidak memenuhi 30 persen, yaitu dengan mengumumkan saja di media massa. Di Prancis, jika parpol gagal memenuhi kuota perempuan, pemerintah segera mencabut subsidi bagi parpol bersangkutan. Di Argentina, KPU-nya tidak akan melakukan pengangkatan bila parpol gagal memenuhi kuota.

Kedua, sistem pemilihan umum. UU Pemilu pada dasarnya menganut sistem proporsional terbuka dengan metode nomor urut ritsleting (zipper). Akan tetapi setelah UU Pemilu disahkan, ada beberapa parpol yang mengupayakan merevisi agar menjadi sistem suara terbanyak. Ini memperlihatkan parpol itu inkonsisten.

Kendati revisi terbatas kandas dilakukan, sejumlah parpol tetap mencantumkan dalam dari ketentuan internal dari partai-partai tertentu, seperti PAN, Partai Golkar, dan Partai Demokrat yang kukuh menggunakan sistem suara terbanyak. Ini sangat membingungkan bagi caleg parpol terutama caleg perempuan karena mereka dihadapkan pada ketidakpastian hukum.

Dari sudut hukum, upaya menetapkan dengan mekanisme suara terbanyak akan berdampak pada sebagian besar mekanisme pemilu dalam UU No 10/2008 yang tidak didesain suara terbanyak, melainkan sistem proposional terbuka. Sistem proporsional atau suara terbanyak yang lebih menguntungkan perempuan?

Dari hasil kajian Richard E Matland, sistem proporsional lebih baik daripada sistem mayoritas (istilah lain suara terbanyak) dalam peningkatan representasi perempuan. Dari 10 negara peringkat tertinggi ditinjau dari sudut representasi perempuan, semuanya memanfaatkan sistem pemilihan representasi proporsional. Penulis setuju dengan pendapat Richard, apalagi dalam masa transisi ini, di mana perempuan baru mulai berkiprah di politik secara lebih aktif mulai 2004.

Selain itu, demi kepastian caleg perempuan, menurut saya KPU harus tegas melaksanakan UU Pemilu tersebut terutama terkait Pasal 218 (1) UU No 10/2008, yaitu Penggantian calon terpilih DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota bila calon meninggal dunia, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota dan terbukti melakukan tindak pidana berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan peraturan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ayat (2): ''Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon dari daftar calon tetap partai politik pserta pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan''.

Ketiga, pembentukan dan kepengurusan dalam parpol. Pasal 2 ayat (2) UU No 2/2008: ''Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan''. Pasal 2 ayat (5) UU No 2/2008: ''Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebaiknya dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30 persen keterwakilan perempuan''.

Kalau dilihat dari kedua ketentuan itu, belum semua menjalankannya. Dengan demikian, perlu dipertegas kembali bahwa kuota 30 persen yang dapat sebagai suatu koreksi terhadap diskriminasi belum tentu dapat berjalan lancar, selama parpol yang menjadi kendaraan representasi perempuan yang mau membawa perubahan belum mempunyai pemahaman yang sama untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki.

Keempat, pendidikan politik. Dalam Pasal 11 ayat (1) butir a UU No 2/2008: ”Partai politik berfungsi sebagai sarana: a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga-negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.

Parpol mempunyai kewajiban melakukan pendidikan politik bagi kader politik dan masyarakat. Kalau dilihat dari beberapa parpol terutama yang lama, kaderisasi dan pendidikan politik tampaknya belum dilakukan secara maksimal, terlihat dari daftar caleg perempuan kurang dari 30 persen. Angka 30 persen tidak sekadar memenuhi angka tertentu, tanpa memberikan gambaran bahwa angka 30 persen akan membawa perubahan.

Oleh sebab itu parpol harus mengubah perspektifnya menjadi kesetaraan dan keadilan gender, mempersiapkan kader-kader yang berkualitas, antara lain dengan pendidikan politik yang berperspektif gender. Dengan kader parpol yang berkualitas dan berperspektif gender, akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap parpol yang akan mementingkan kepentingan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian akan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui kendaraan parpol akan berlandaskan pada aspirasi, kepentingan, dan kemakmuran bersama.

Berdasarkan keempat hal di atas, parpol haruslah ramah gender karena akan sangat menarik masyarakat terutama perempuan untuk berpartisipasi dan terlibat dalam politik. Masyarakat berharap banyak kepada parpol mau mengubah perspektifnya menjadi perspektif kesetaraan dan keadilan gender.

Ikhtisar:
- UU Pemilu masih lemah karena tidak dipersenjatai dengan sanksi tegas.
- Beberapa kajian menyimpulkan sistem proporsional lebih baik daripada sistem suara terbanyak.
- Masih banyak parpol yang belum mengakomodasi peran perempuan.

Tidak ada komentar: