Rabu, 10 Desember 2008

Kegerahan Intelektual di Pentas Politik Indonesia



Rabu, 10 Desember 2008 | 00:20 WIB

Oleh Imam Prihadiyoko

Intelektual di dunia politik bukanlah hal baru bagi bangsa ini. Bahkan, para pendiri bangsa ini dikenal sebagai orang ”sekolahan” yang punya kesadaran kebangsaan dan menjadi pendiri partai yang andal.

Mereka punya kesadaran bahwa partai politik bisa dijadikan kendaraan untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa.

Ilmuwan politik Harold Laswell secara sederhana menginterpretasikan politik sebagai persoalan siapa mendapat apa dan bagaimana. Interpretasi sederhana ini menjadi sangat pas dengan realitas politik Indonesia saat ini. Politisi terlihat hanya sibuk memikirkan siapa mendapat apa. Kondisi ini setidaknya tecermin dari kondisi ketidakberdayaan rakyat secara ekonomi.

Politisi pendahulu yang berangkat dari kalangan intelektual, seperti Soekarno, M Hatta, dan M Natsir, mungkin tidak pernah membayangkan bahwa penerus mereka hari-hari ini, yang sama-sama berangkat dari dunia akademis, begitu terjun ke dunia politik tidak sanggup memperjuangkan ide-ide besarnya demi kemajuan bangsa.

Logika politik dan intelektual sangat berbeda karena dunianya juga sangat berbeda. Itulah pandangan Dradjad Wibowo, ekonom yang menjadi anggota Fraksi Partai Amanat Nasional di DPR.

Dradjad mengakui, terkadang kebenaran akademis yang dimiliki kalangan intelektual sering kali tidak ”nyambung” dengan kebenaran politik. Problemnya bukan soal benar atau salah, tetapi bagaimana menyatukan gerak kebenaran yang diyakini di dunia intelektual bisa menjadi keputusan politik.

Itu sebabnya kalangan intelektual yang terjun di dunia politik harus siap menerima kebenaran politik dan selalu ingat posisinya bahwa mereka di dunia politik dan bukan intelektual. Mereka harus terus berusaha meyakinkan bahwa logika intelektualnya itu akan menguntungkan posisi partai dan masyarakat secara luas.

”Meski logika intelektual dan politik merupakan dunia yang berbeda, saya masih memiliki kebebasan mengekspresikan dan mempertahankan kebenaran akademis yang diyakini,” ujar Dradjad yang tetap akan berjuang di PAN meskipun pada pemilu legislatif mendatang tidak lagi masuk dalam daftar calon anggota legislatif PAN.

Ia mencontohkan, logika kebenarannya dalam mempertahankan kasus BLBI diterima menjadi keputusan partainya. Namun, ada juga argumen yang tidak diterima partainya, tapi ia tetap boleh mempertahankan keyakinan intelektualnya.

Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir mengingatkan, ujung dari kekuasaan yang hendak diraih hendaknya merupakan kesejahteraan rakyat. Jika tidak berakhir di titik itu, politik atau partai politik tidak ada manfaatnya bagi rakyat.

Tidak ”nyambung”

Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicated Sukardi Rinakit, yang sekarang terjun mendukung Sultan Hamengku Buwono sebagai kandidat presiden, mengaku tidak betah dengan kondisi politik Indonesia. Kegerahan itu dipicu kondisi politik yang penuh manipulasi dan ketidakjujuran pada publik tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

”Alasan klise terpaksa sering diungkapkan untuk menutupi sebuah peristiwa agar tidak terlihat merugikan, baik merugikan karena bisa menimbulkan konflik dengan kelompok lain maupun kerugian bagi diri sendiri,” ujarnya.

Problem kalkulasi uang yang selalu mewarnai pentas politik memang menjengkelkan. Hampir tidak ada dasar dukungan yang cukup cerdas yang dikembangkan ketika membangun sebuah koalisi atau kekuatan politik. Politik juga diwarnai usaha saling memotong dan fitnah.

”Tackling, itu istilah yang saya pakai untuk kondisi saling potong ini,” ujarnya.

Meskipun rasanya tidak betah dengan kondisi politik yang memang sudah dikhawatirkan sejak awal, Sukardi tetap punya keinginan untuk menuntaskan apa yang sudah dimulai. ”Saya ingin mengisi gelas kosong dan membantu menyajikannya hingga pesta ini usai,” ujarnya.

Menyinggung motivasi kaum intelektual terjun ke dunia politik, Sukardi memberikan empat alasan, yaitu adanya keinginan untuk mendapatkan posisi di kekuasaan atau di puncak birokrasi; survival karena menjadi penulis buku atau menulis untuk media massa tidak cukup untuk kehidupannya; obsesi ingin menerapkan ide intelektualnya demi kebanggaan diri; dan hasrat melakukan perubahan tanpa berharap jabatan politik apa pun.

”Yang terakhir ini agak aneh, tetapi itu masih ada. Kalau saya ini seperti menjadi terminal untuk melakukan perubahan yang lebih baik,” ujarnya.

Pragmatis

Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan Sumatera Selatan Ibnu Hadjar Dewantara, yang juga mengajar di Pascasarjana Universitas Sriwijaya, juga merasa tidak berdaya dengan keinginan masyarakat yang hanya memilih dengan alasan pragmatis.

Figur yang dipilih tidak lagi dilihat dengan pemikiran yang jernih demi kemajuan bangsa atau suatu daerah, tetapi banyak yang menyertakan kriteria putra daerah, kedekatan, dan keuntungan jangka pendek.

”Kondisi seperti ini jelas memprihatinkan. Sebagai orang yang dibesarkan di kalangan akademis, sebagai kader partai Islam yang dididik keras bahwa berpolitik dengan landasan moral dan akidah, saya sebetulnya cukup terguncang dengan kenyataan ini,” katanya.

Dalam dunia politik, sering kita mendengar adagium bahwa setiap kali langkah politik dilakukan, mungkin ada banyak kebohongan, tetapi terkadang kita mungkin tidak membutuhkan semua kebenaran untuk memulai sebuah kehidupan yang baru. Namun, alangkah indahnya jika kehidupan baru yang diraih dibangun dengan dasar kebenaran.

Tidak ada komentar: