Rabu, 10 Desember 2008

Ruang Kosong Gerakan Mahasiswa



Rabu, 10 Desember 2008 | 00:20 WIB

Oleh M Hernowo

Tawuran. Itulah berita aktivitas mahasiswa yang belakangan muncul di media massa. Entah itu di Jakarta ataupun Makassar, sebagian mahasiswa memperlihatkan sikap tercela kepada koleganya atau masyarakat setempat.

Ironisnya, peristiwa yang bahkan sampai menimbulkan korban jiwa itu dipicu oleh masalah sepele yang jauh dari sikap intelektual, seperti ketersinggungan akibat kampusnya berdekatan atau mewarisi tradisi seniornya.

Sejumlah tawuran itu terjadi hanya sekitar enam bulan menjelang Pemilu 2009, yang diprediksi sebagai akhir dari era tokoh-tokoh penting di awal reformasi atau akhir Orde Baru, seperti Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Wiranto, Abdurrahman Wahid, dan Sultan Hamengku Buwono X.

Muncul pertanyaan, bagaimana kepemimpinan bangsa ini ke depan jika mahasiswanya sibuk berkelahi? Sementara militer, yang selama ini menjadi salah satu sumber kepemimpinan, sudah didorong untuk menjadi tentara profesional dan bukan lagi tentara politik atau bisnis.

Kekhawatiran itu makin besar karena di saat bersamaan, aktivitas kelompok mahasiswa yang selama ini dikenal banyak menghasilkan kader-kader pemimpin, baik di bidang politik maupun sosial, makin kurang terdengar.

Kelompok Cipayung, misalnya, merupakan kelompok mahasiswa yang lahir dari sebuah diskusi bertema ”Indonesia yang Kita Cita-citakan” pada 19-22 Januari 1972. Anggota kelompok itu adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Dua tahun kemudian, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) turut bergabung.

Kemunduran aktivitas diduga terjadi pada organisasi mahasiswa di dalam kampus. Misalnya senat atau dewan mahasiswa yang pernah menelurkan tokoh seperti anggota DPR, Rama Pratama (Universitas Indonesia), Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan (Universitas Gadjah Mada), dan menteri dan pengusaha Aburizal Bakrie (Dewan Mahasiswa ITB).

Nasib yang lebih kurang sama juga terjadi dengan gerakan mahasiswa di luar kampus, seperti parlemen jalanan yang dahulu dilakukan fungsionaris PDI-P, Budiman Sudjatmiko.

Mencari ruang kosong

Husen Yusuf, Ketua PMII, mengatakan, gerakan mahasiswa memang menjadi salah satu alat untuk memprediksi kepemimpinan Indonesia 10 hingga 20 tahun ke depan. Sebab, seperti kelompok Cipayung yang memiliki jaringan keanggotaan dan alumni yang luas, banyak di antara alumninya yang menjadi elite politik atau ekonomi.

Bahkan, lanjutnya, mantan pimpinan puncak PMII biasanya memiliki kemudahan untuk meniti karier politik. Sebab, saat aktif di organisasi, ia berkesempatan membuka jaringan dengan para seniornya yang sudah menjadi elite negeri ini. Relasi dengan elite politik ini menjadi faktor penting dalam meniti karier politik di Indonesia.

Kondisi serupa diyakini juga terjadi di kelompok lain, seperti HMI dan GMNI. Banyak tokoh organisasi itu yang akhirnya menjadi elite politik Indonesia.

Namun, lanjut Husen, kelompok mahasiswa kini sedang menghadapi tantangan besar, yaitu menemukan dan mengelola ruang kosong untuk dijadikan tempat mengolah diri.

”Saat Orde Baru, ruang kami adalah menjadi suara rakyat karena tidak berjalannya lembaga perwakilan yang disediakan negara. Sikap represif penguasa saat itu juga memudahkan kami untuk mengambil posisi dan mengonsolidasikan diri,” kata Husen.

Namun, saat ini sudah banyak pihak yang mengisi ruang itu. Jadi, unjuk rasa mahasiswa bukan lagi hal istimewa.

Keadaan makin diperberat oleh makin mahalnya biaya kuliah dan makin terbatasnya waktu belajar. Akibatnya, mahasiswa terdorong untuk lebih bersikap pragmatis, kuliah secepatnya dengan nilai setinggi mungkin agar dapat cepat mencari pekerjaan.

Kegagalan parpol

Ketua Presidium GMNI Dedi Rahmadi mengatakan, kelompoknya berusaha mengatasi berbagai kendala itu dengan mengajak mahasiswa berbicara pada dirinya sendiri. ”Anggota baru GMNI awalnya diajak membahas hal-hal seperti mengapa kuliah cenderung membosankan dan biayanya mahal? Setelah itu, baru dimasukkan sejumlah ideologi kami, yang intinya adalah semangat nasionalis,” papar Dedi.

Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Rahman Thoha melihat, sebenarnya ada ruang kosong yang dapat dipakai gerakan mahasiswa saat ini, yaitu kegagalan partai politik membangun konsolidasi dan sistem ekonomi nasional yang amat tergantung dari luar. Tantangannya adalah bagaimana mengoperasikan ruang kosong itu agar dapat efektif dipakai sebagai tempat mengolah diri.

Ketua Umum HMI Arif Mustofa mengatakan, kelompoknya yang beranggotakan 321.000 orang berusaha kembali pada kegiatan inti, yaitu pembangunan sumber daya manusia. Namun, tidak hanya untuk mengisi ruang di birokrasi, partai politik, atau parlemen, tapi juga sektor ekonomi dan sosial.

Tantangan para aktivis mahasiswa ini belum berakhir saat mereka berhasil merumuskan aktivitasnya. Meski sudah memiliki sejumlah bekal berupa pengalaman, masih ada tantangan lain yang harus mereka hadapi saat akan terjun ke politik praktis, misalnya dengan masuk ke partai politik.

”Biaya politik saat ini amat mahal. Rekruitmen di parpol juga masih bersifat kekerabatan sehingga kesempatan terbesar untuk eksis di parpol dimiliki oleh mereka yang punya hubungan kekerabatan dengan pengurus parpol atau punya modal finansial besar,” kata mantan Ketua Umum GMKI Goklas Nababan.

Kondisi ini membuat banyak aktivis gerakan mahasiswa berpikir berkali-kali saat akan masuk ke parpol. Banyak yang berpikir, mengumpulkan modal finansial dahulu sebelum berpolitik. Caranya dengan bekerja atau menjadi pengusaha. Dunia politik praktis baru dirambah setelah mandiri secara ekonomi.

Andrinof Chaniago, pengajar Universitas Indonesia, melihat, lesunya gerakan sosial dan politik mahasiswa saat ini akhirnya memang tidak dapat dilepaskan dari sistem politik Indonesia, khususnya sistem di parpol.

Dengan demikian, perbaikan kondisi ini tidak cukup dengan membangun sistem pendidikan Indonesia menjadi lebih eksploratif dan humanis. Mekanisme di politik, terutama parpol, juga harus ikut diperbaiki.

”Jika jenjang karier di sebagian besar parpol sudah jelas dan dibuat berdasarkan prestasi yang terukur, gerakan sosial dan politik mahasiswa mungkin akan lebih aktif. Sebab, aktivis di sana akan lebih memiliki gambaran yang pasti tentang karier politiknya,” papar Andrinof.

Sebaliknya, jika sekarang mahasiswa lebih pragmatis dan menyukai hal-hal yang ”ringan”, itu karena parpol dan kehidupan politik di Indonesia pada umumnya juga demikian. Amat dekat dengan perhitungan ekonomi sesaat serta jauh dari cita-cita besar dan panjang.

Tonny Jematu, Ketua PMKRI, menuturkan, kondisi saat ini memang tidak menutup kemungkinan munculnya calon-calon pemimpin besar. Apalagi sejarah menunjukkan, mereka biasanya justru hadir di tengah kelesuan atau tipisnya harapan.

Namun, dunia politik dan mahasiswa yang amat pragmatis ini juga telah memunculkan sejumlah rasa frustrasi. Buktinya, mahasiswa makin sering tawuran.

Tidak ada komentar: