Senin, 22 Desember 2008

Biaya Mahal untuk Reformasi Birokrasi


GIANIE

Reformasi birokrasi merupakan syarat mutlak terciptanya good governance. Namun, pemerintah baru berhasil ”menjamah” sebagian kecil dari bermacam aspek pelayanan dan sistem birokrasi.

Dari beberapa parameter yang dipakai mengukur tingkat kepuasan publik terhadap kinerja birokrasi sektor hukum dan ekonomi, misalnya, terlihat ada penurunan tingkat ketidakpuasan publik. Kinerja birokrasi dalam bidang ekonomi, misalnya, penurunan ketidakpuasan responden dari 57,2 menjadi 46,3 persen (lihat Tabel).

Penilaian buruk terhadap kinerja birokrasi tahun ini tidak berbeda jauh dari penilaian pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan upaya memangkas jalur birokrasi yang berbelit-belit atau membersihkan praktik sogok-menyogok masih sangat sulit diwujudkan.

Pertanahan

Jika dirinci dalam berbagai aspek pelayanan, terlihat pelayanan birokrasi dalam bidang administrasi kependudukan, pertanahan, dan pelayanan kesehatan relatif tetap tidak memuaskan. Sementara pelayanan dalam bidang surat-surat kendaraan bermotor dinilai semakin memuaskan.

Citra birokrasi pemerintah di mata publik memang ditentukan oleh banyak aspek. Meski demikian, dua hal utama, yakni mentalitas KKN dan manajemen pelayanan yang amburadul, kerap kali membentuk citra positif atau negatif sebuah lembaga birokrasi di mata publik.

Ketidakpuasan terhadap kinerja birokrasi dalam lingkup departemen, misalnya, masih cukup besar, mencakup 42,1 persen responden, dan relatif tidak beranjak banyak dari tahun ke tahun. Faktanya, komitmen untuk menciptakan aparatur negara yang bersih dan profesional serta ditindaklanjuti secara serius belum banyak ditunjukkan oleh departemen pemerintah.

Boleh dibilang, dalam sektor ekonomi, baru Departemen Keuangan yang sejak Juli 2007 mencoba menjadi ”pelopor” reformasi birokrasi. Dengan persiapan sekitar dua tahun, lembaga ini menata organisasi, memperbaiki proses bisnis, dan meningkatkan manajemen sumber daya manusia.

Sebagian kegiatan yang dilakukan dengan membuat prosedur operasional standar mengatur secara rinci mekanisme pelayanan, lama pelayanan, dan biaya yang dibutuhkan. Dengan prosedur operasional standar ini, publik bisa lebih jelas berurusan, soal perpajakan, kepabeanan dan cukai, atau transfer dana dari pusat ke daerah. Sistem yang dibangun juga mengupayakan tidak ada celah untuk korupsi karena kesejahteraan personelnya pun diperbaiki dengan tingkat yang memadai.

Setahun lebih berjalan, beberapa capaian sudah dirasakan. Masyarakat bisa membuat nomor pokok wajib pajak dalam sehari tanpa dipungut biaya. Pelayanan segera untuk impor (rush handling) dijanjikan selesai dalam dua jam setelah dokumen diterima dan pengurusan pabean jalur prioritas dari 16 jam menjadi 20 menit. Apa yang dirintis oleh Depkeu ini cukup memperbaiki citra aparatur negara di tingkat departemen.

Sayangnya, upaya reformasi di sektor keuangan ini masih berjalan parsial, belum diikuti reformasi sektor produksi seperti perindustrian, pertambangan, perikanan, perkebunan, dan sektor lain.

Nondepartemen

Ketidakpuasan publik terhadap kinerja nondepartemen relatif lebih tinggi dibandingkan departemen. Di lembaga legislatif, ketidakpuasan terhadap kinerja anggota Dewan mencapai 60,6 persen, sementara di lembaga yudikatif (kehakiman dan kejaksaan) mencapai 53 persen.

Kondisi citra dan kinerja aparatur birokrasi pemerintahan di daerah juga dinilai setali tiga uang. Jalur birokrasi yang bertele-tele, aparat yang gampang disuap dan tidak disiplin belum mampu dihilangkan oleh penerapan sistem desentralisasi (otonomi daerah). Banyak faktor yang menyebabkan reformasi birokrasi jalan di tempat. Faktor utama antara lain integritas aparat yang rendah dan sistem remunerasi yang tidak memadai. Ditambah dengan sanksi yang rendah tingkat ancamannya, menjadikan kondisi menjalankan birokrasi dengan business as usual senantiasa terjadi.

Acap kali terjadi, ”gebrakan” baik dalam sistem maupun sumber daya manusia dilakukan dalam sebuah birokrasi sejauh ada momentum, baik terkait diangkatnya pejabat baru maupun ada ”pesanan” dari kepentingan di atasnya. Kenaikan remunerasi, misalnya, disinyalir sekitar separuh responden hanya bersifat membantu menurunnya keinginan korupsi, tetapi tidak akan mampu menangkalnya.

Dalam kasus Depkeu, misalnya, Menteri Keuangan menyatakan pejabat golongan II B di Ditjen Bea dan Cukai bisa menerima suap hingga Rp 900 juta. Bisa dibayangkan berapa uang suap yang diberikan kepada pejabat golongan di atasnya (Kompas, 2/11/2007).

Sebagian besar publik meyakini kenaikan gaji atau pemberian tunjangan khusus bagi aparat pemerintah akan dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik. Hal ini disampaikan oleh 51,3 persen responden. Meski demikian, hampir separuh responden (48,8 persen) beranggapan bahwa kenaikan kesejahteraan itu tidak akan dapat mengurangi kasus korupsi.

Komitmen politik

Upaya reformasi birokrasi memang bukanlah proses yang mudah seperti membalikkan telapak tangan atau bisa selesai dalam waktu semalam. Dalam kondisi korupsi yang sistemik, butuh komitmen yang kuat dari pemimpin politik tertinggi seperti presiden bersama dengan unsur pemimpin lainnya. Hal ini disebabkan reformasi birokrasi yang dijalankan serentak dan menyeluruh memiliki konsekuensi politik yang besar.

Reformasi birokrasi takkan berhasil tanpa reformasi remunerasi, dan ini berarti butuh anggaran yang sangat besar hanya untuk kesejahteraan pegawai pemerintah. Sebagai gambaran, remunerasi atau tunjangan tambahan terkait reformasi birokrasi bagi pegawai di seluruh departemen yang saat ini jumlahnya sekitar 3,5 juta orang diperkirakan mencapai Rp 62 triliun. Jumlah ini belum memperhitungkan gaji pokok.

Misalkan tahun 2009 pemerintah memberlakukan pendapatan pegawai negeri sipil golongan terendah menjadi Rp 1,721 juta per bulan, bisa dibayangkan anggaran belanja negara hanya tersedot untuk gaji dan tunjangan pegawai negeri. Bagaimana dengan pos belanja pembangunan lainnya? Di sinilah komitmen politik itu diuji. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)

Tidak ada komentar: