Minggu, 07 Desember 2008

The Real Vice President


Dalam peringatan ulang tahun The Habibie Center 25 November 2008, Buya Ahmad Syafii Maarif (ASM) mengatakan bahwa Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) adalah the real president.

Muncul tanggapan membantah pernyataan Buya ASM itu. Anas Urbaningrum, orang dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menganggap ucapan itu kurang arif dan berpotensi mengganggu hubungan kedua pemimpin itu. Ucapan itu dinilainya dangkal dan jauh dari asas faedah. Mengapa ASM menyatakan pendapat kontroversial itu di depan publik? Atau kesalahan media yang menyiarkan seandainya ASM tanpa sadar mengatakan sesuatu yang sensitif itu?

Hanya ASM sendiri yang tahu. ASM berhak mengatakan apa pun yang dianggapnya benar. Apa pun dampak ucapan itu terhadapnya, positif atau negatif, akan dipikulnya sendiri. ASM tentu bermaksud baik dengan ucapan itu. ***

Mungkin yang dimaksud oleh Buya ASM bahwa JK adalah the real head of government (kepala pemerintahan), sebab the head of state tetap dijabat oleh SBY dan tidak mungkin dijabat oleh orang lain. Kita ingat bahwa Bung Karno (BK) dulu pernah mengangkat Ir Djuanda sebagai "menteri pertama" yang fungsinya adalah semacam kepala pemerintahan karena BK merasa tidak tepat kalau harus juga menjadi kepala pemerintahan.

Tentu Ir Juanda tidak bisa sepenuhnya bebas mengambil keputusan, harus berkonsultasi dengan BK untuk masalah yang amat penting. Wapres membantah pernyataan ASM itu. Menurut JK, dirinya adalah the real vice president. Semua yang dilakukan JK selama ini adalah dalam rangka menjalankan arahan dan putusan Presiden. Semua keputusan ditetapkan sidang kabinet dan tentu sepengetahuan Presiden. JK tidak mungkin melaksanakan program perdamaian Aceh kalau tidak disetujui SBY.

Kita belum mendengar tanggapan dari Presiden sendiri terhadap ucapan ASM itu. Atau mungkin lebih baik tidak ditanggapi. Kita punya banyak contoh tentang hubungan RI-1 dan RI-2. BK dan Bung Hatta sebagai dwitunggal bertahan sekitar 12 tahun. Hubungan Pak Harto dengan kebanyakan wakilnya tidak bisa kita jadikan contoh karena saat itu wapres adalah ban serep, diberi penugasan di bidang pengawasan.

Hubungan Pak Harto dan Pak BJ Habibie (BJH) yang sebelumnya berjalan amat baik berubah menjadi amat buruk ketika BJH menjadi wapres dan lalu presiden. Sampai wafatnya, Pak Harto tidak mau bertemu lagi dengan BJH. Hubungan buruk RI-1 dan RI-2 juga terjadi antara Gus Dur dan Megawati. Mula-mula hubungan itu tidak ada masalah. Lalu terdengar isu bahwa Mega merasa tidak nyaman dengan beberapa ucapan Gus Dur terhadap dirinya.

Perkembangan politik yang memanas memaksa Gus Dur mengeluarkan dekrit dan MPR melengserkannya. Lalu Mega menjadi Presiden. Hubungan Gus Dur dengan Mega terputus, tetapi kini sudah membaik kembali. Hamzah Haz sebagai wapres tidak banyak berperan karena mungkin Mega menghendaki peran seperti itu. Namun dalam pilpres langsung, tidak mungkin wapres mau menjadi ban serep karena dia punya peran besar membawa capres menjadi presiden. Kita ingat bahwa SBY dan JK membuat MoU sebelum maju dalam Pilpres 2004. ***

Hubungan dan pembagian tugas antara SBY dan JK tampaknya mengalami dinamika. Pada tahun pertama tentu tidak mudah memadukan dua tokoh yang berbeda karakter dan dari dua latar belakang berbeda. Itu adalah sesuatu yang wajar. Tentu diperlukan proses penyesuaian diri yang cukup panjang. Dalam proses itu adakalanya ada pihak yang kecewa dan terceplos omongan yang tidak sedap dan didengar oleh orang sekelilingnya, lalu tersebar ke kalangan yang lebih luas.

Menurut saya, kini SBY dan JK telah menemukan slag-nya dan saling mengisi. JK terlatih selama puluhan tahun mengambil keputusan secara cepat. SBY terbiasa berpikir matang karena itu butuh waktu lama dan bertindak hati-hati (adakalanya terlalu hati-hati). JK adalah pengusaha yang penuh inisiatif dan praktis. SBY adalah cendekiawan yang berwawasan luas.

JK berpikir mikro, SBY berpikir makro. Kontras antara keduanya justru menciptakan duet yang saling melengkapi. Bahwa ada kekurangan, rasanya wajar. Yang bisa menentukan bahwa JK adalah the real president atau the real head of government bukan orang lain, tetapi SBY sendiri. Dan kita tahu bahwa sampai saat ini tidak terdengar ada pendapat SBY seperti itu yang disampaikan secara terbuka.

Bahwa JK lebih aktif dibandingkan wapres lain, itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibantah. Namun sejauh itu tidak mengganggu SBY atau mengganggu hubungan keduanya, tidak ada masalah. Apakah duet SBY-JK akan berlanjut pada Pilpres 2009. Selain hubungan pribadi dan kecocokan kedua tokoh itu, ada masalah lain yang ikut memengaruhi berlanjut atau tidaknya duet itu pada 2009, yaitu dukungan Partai Golkar. Kalaupun ada ketidakpuasan terhadap kerja sama pada diri salah satu atau kedua tokoh itu, realitas politik yang ada tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Itulah politik. Mencari yang paling mungkin di antara sekian banyak kemungkinan. ***

Benar kalau dikatakan bahwa JK adalah the real vice president. JK adalah salah satu yang terbaik dalam menjalankan fungsi wapres, yaitu wapres yang aktif dan bukan the sleeping partner. Bahwa ada keputusan Presiden yang berasal dari gagasan JK sebagai wapres yang dianggap tidak baik oleh masyarakat, itu adalah masalah lain.

Hampir semua wapres Pak Harto sebenarnya bisa menjadi the real vice president kalau tidak berada pada sistem yang membelenggu mereka. Siapa pun tidak meragukan sikap negarawan Sultan Hamengku Buwono IX. Wapres terbaik adalah Bung Hatta yang berani mengingatkan BK ketika beliau menganggap BK telah menyimpang dari arah yang tepat. Dan ketika peringatan itu tidak digubris BK, beliau berani kehilangan jabatan. Bung Hatta adalah the real and the best vice president. (*)

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng

(//mbs)

Tidak ada komentar: