Rabu, 10 Desember 2008


Rabu, 10 Desember 2008 | 00:24 WIB

Oleh Sutta Dharmasaputra

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil perubahan, memberi keistimewaan partai politik mengisi jabatan kenegaraan. Namun, ”hak monopoli” itu belum diimbangi dengan sistem kaderisasi yang optimal.

Begitu dihadapkan pada pemilihan presiden, banyak parpol seakan kekurangan stok sehingga muncul sebutan calon 4L (lu lagi lu lagi).

Mereka juga seakan tidak siap bersaing terbuka dengan pesaingnya dari internal ataupun eksternal. Konvensi untuk menyeleksi capres secara terbuka tidak berani digelar. Pengajuan calon pun dibatasi hanya parpol yang memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu.

Dalam pemilihan kepala daerah, banyak juga yang mencomot tokoh militer, pengusaha, atau artis. Mereka sadar, kalau kadernya dipaksakan akan kalah bersaing karena tidak populer di mata rakyat.

Di legislatif juga, prestasi belum tampak. Survei Kompas, Maret 2008, menyimpulkan, 68,5 persen responden menilai kinerja DPR buruk, 84 persen tak serius mengawasi kinerja pemerintah. Fenomena ini diperparah dengan terus terungkapnya anggota Dewan yang menerima uang dari mitra kerja.

Sementara itu, hampir semua pemilihan pimpinan lembaga negara, mulai dari duta besar sampai gubernur Bank Indonesia, melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Dengan kata lain, untuk mendapatkan hasil saringan yang baik, dibutuhkan alat penyaring yang baik pula.

Berantakan

Sejarah perkembangan parpol di negeri ini belumlah panjang. Di era Orde Baru, selama 32 tahun lebih, gerak parpol sangat dibatasi. Karena itu, tak heran bila sistem kaderisasinya masih banyak bolong di sana-sini. Golkar, yang pernah berkuasa paling lama, sistem kaderisasinya pun masih dalam pembenahan. Begitu rezim Orba tumbang, sistem pengaderannya ikut tumbang. ”Setelah reformasi, (sistem kaderisasi) berantakan,” istilah Wakil Sekjen Partai Golkar Rully Chairul Azwar.

Sistem kaderisasi di Golkar dibangun 1983 di era Sudharmono. Golkar memiliki Badan Pengendali Kader Pusat yang secara sistematis melakukan perekrutan, pelatihan, dan penugasan. Pimpinan organisasi sosial dan masyarakat, mulai dari Himpunan Kelompok Tani Indonesia sampai Kamar Dagang dan Industri, direbutnya. Golkar juga membentuk kader teritorial sampai desa dengan target 1 desa 100 kader.

Sistem pendataan juga sangat rapi. Menurut Rully, yang di era Harmoko menjadi Ketua Departemen Pemenangan Pemilu Golkar, evaluasi jumlah pendukung dihitung per minggu dan sangat presisi. Penentuan calon ketua umum KNPI sampai menteri dibawa ke rapat tiga jalur.

Memasuki era Reformasi, sistem kaderisasi harus ditata kembali karena Tentara Nasional Indonesia semakin menjauh dari partai, pegawai negeri sipil pun dilarang berpolitik praktis. Proses penugasan kader tidak lagi seleluasa dulu.

Implikasinya, daya tarik orang pada pengaderan partai pun menjadi berkurang karena tidak bisa memberi kepastian karier politik. Kader akhirnya lebih bergantung pada patron atau mengandalkan lobi perorangan. ”Ini tidak terjadi hanya pada Partai Golkar, tapi terjadi di semua partai,” papar Rully.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sebagai partai yang pernah memenangi pemilu di era Reformasi, juga masih terus menata diri. Meskipun sistem kaderisasi sudah dibangun sejak 1999, menurut Sekjen PDI-P Pramono Anung, baru bisa berjalan baik tahun 2004.

Sistem kaderisasi PDI-P difokuskan pada peningkatan pemahaman platform partai dan pengetahuan praktis yang disesuaikan dengan tingkatan kader. PDI-P membagi kadernya menjadi tiga tingkat, yaitu pratama, madya, dan utama. Empat tahun terakhir ini, diklat pengetahuan praktis kader pratama sudah dilakukan 57 angkatan. Tiap-tiap angkatan terdiri dari 100-115 peserta. Materinya seperti pertanian, perbengkelan, atau usaha kecil. PDI-P juga bekerja sama dengan lembaga keagamaan. Kegiatan Kiai Kampung telah berhasil menghimpun 600 kiai di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Untuk peningkatan kader di eksekutif, legislatif, ataupun struktur partai, PDI-P bekerja sama dengan lembaga internasional.

Terkait dengan pengisian jabatan politik kenegaraan, PDI-P tetap membuka dari luar kader. Namun, Pramono merasa bahwa orang yang meniti karier dari struktur partai jauh lebih mengakar. Dia mencontohkan Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih atau Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Leburaya yang meniti karier di partai mulai dari bawah.

Kini, PDI-P mulai merasakan manfaat dari sistem kaderisasi yang dibangunnya itu. Unggulnya PDI-P dalam banyak pilkada, menurut Pramono, adalah salah satunya.

Meski demikian, sistem kaderisasi yang dibangun juga masih banyak kekurangan. Salah satunya adalah belum mampu menumbuhkan loyalitas seperti yang ditumbuhkan di institusi militer. ”Kalau tidak dapat nomor urut jadi dan ada peluang dari partai lain, masih ada yang lompat,” ucapnya.

Janji kader

Semua parpol memang terus membenahi sistem pengaderannya. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai baru juga terus merapikan sistem kaderisasinya. PKS bahkan sudah membedakan janji yang harus diucapkan kadernya sesuai tingkatan, yaitu anggota pemula, muda, madya, dewasa, ahli, purna, dan kehormatan.

Pengaderan yang diterapkan PKS pun bertahap dan berjenjang layaknya sistem multilevel marketing (MLM). Setiap kader bertanggung jawab pada kader di bawahnya. Dalam waktu cepat, PKS berhasil menghimpun banyak kader. Menurut Ketua Bidang Pembinaan Kader DPP PKS Ahmad Zainuddin, tahun 2008 tercatat 800.000 kader. Padahal, pada tahun 2004 hanya 392.000 kader. Dengan peningkatan tersebut, PKS optimistis bisa meraih 20 persen suara pada Pemilu 2009.

Keluar masuk kader dari partai juga bisa dihitung dengan jari. Menurut Zainuddin, hal itu bukan karena ikatan janji, tapi karena ditanamkan pemahaman bahwa PKS merupakan partai dakwah dan sesuai misi Islam.

Terkait pengisian jabatan politik kenegaraan, Zainuddin mengakui, sistem kaderisasi yang dibangun masih banyak kekurangan mengingat pada periode 1999, PKS (dulu Partai Keadilan) masih berkonsentrasi memperkokoh eksistensi partai. Baru pada tahun 2004, kaderisasi di PKS masuk ke penataan pelayanan publik.

Terjun di masyarakat

Pengamat politik senior dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, berpandangan, sistem kaderisasi di parpol pada umumnya masih minim dan lemah, baik dari sisi intensitas, metode, maupun pendanaan.

Dari sisi intensitas, seharusnya kaderisasi itu dibangun sejak partai didirikan. Partai tidak lagi mengandalkan massa. Metode kaderisasi pun tidak cukup ceramah, tapi pendalaman pemahaman masalah. Lebih penting lagi adalah belajar menyelesaikan masalah rakyat secara langsung.

”Kader partai itu harus diterjunkan ke masyarakat, bukan hanya tahu teori. Ini juga yang dilakukan Obama,” papar Arbi.

Pengayaan pengalaman kader tidak harus mengandalkan penugasan di birokrasi, eksekutif, atau legislatif, tapi bisa dilakukan dalam bentuk kerja-kerja di masyarakat. Arbi mengkritik kebanyakan partai yang baru menerjunkan kader ke masyarakat saat mendekati pemilu. Hal ini yang membuat kader jorjoran dalam kampanye karena merasa belum dikenal masyarakat.

Tidak ada komentar: