Kamis, 04 Desember 2008

"The Real Enemy"

BUDIARTO SHAMBAZY

Rakyat mendambakan penyelenggaraan Pemilu/Pilpres 2009 yang aman dan damai. Seperti kata pepatah, Pemilu/Pilpres 2009 semestinya ”pesta demokrasi” yang meriah dan santai.

Malah sebaliknya yang terjadi. Kondisi menjelang Pemilu/Pilpres 2009 membuat rakyat semakin mengernyitkan dahi.

Guru besar sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Ahmad Syafii Maarif, pekan lalu menyebut Wapres Jusuf Kalla the real president (Kompas, 28/11). Buya sapaan Syafii Maarif salah seorang ”guru bangsa” di republik ini.

Mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu sering tampil di berbagai acara sebagai pakar pembahas etika dan moral politik. Tokoh sepuh itu tak punya kepentingan politik kecuali menjaga dan mencapai keindonesiaan yang sejati.

Buya Syafii punya legalitas moral untuk berbicara tentang politik, termasuk soal kepemimpinan nasional. Wajar ia memuji—bukan mendiskreditkan—Jusuf Kalla sebagai the real president.

Pujian itu tak salah alamat di tengah suburnya gejala makin pelitnya orang memuji orang lain. Jangan salah, ini hal wajar karena selama 10 tahun terakhir rakyat belum puas dengan prestasi para presiden-wakil presiden.

Itu sebabnya siapa pun yang muncul ke panggung sebagai capres-cawapres pasti ”dipelototi”. Otomatis muncul mentalitas there’s always but dari berbagai kalangan yang superkritis.

Tidak ada capres-cawapres yang dianggap oke. Namun, adalah manusiawi jika rakyat yang terlalu kecewa lebih suka melihat kelemahan daripada kekuatan para capres-cawapres.

Akan tetapi, tahun depan bangsa ini mau tak mau harus memilih presiden-wakil presiden periode 2009-2014—kecuali yang berniat golput. Fakta menunjukkan Jusuf Kalla cawapres yang paling favorit.

Ketua Umum Golkar ini bukan tipe pemimpin yang ”sok genting”. Ia mudah ditemui siapa pun, mau berdebat secara terbuka, dan tidak pernah sungkan dikritik orang lain.

Saudagar asal Bugis ini orang yang gemar pemeo get things done. Apa ada yang keliru jika ia, karena dari muda sudah berbisnis, mengutamakan prinsip untung atau rugi?

Saya beberapa kali di rubrik ini menulis Jusuf Kalla telah pantas mencalonkan diri sebagai presiden. Saya makin tak percaya dengan mitos usang ”presiden harus orang Jawa”.

Para pemilih pemula generasi muda makin tidak ogah dengan mitos-mitos kuno, seperti Satrio Piningit atau Ratu Adil. Lagi pula budaya Jawa justru terkenal karena lentur bercampur baur dengan kultur-kultur lainnya.

Hal yang sama berlaku juga untuk Rizal Ramli ingin dipandang sebagai ”Obama Indonesia”. Sultan Hamengku Bowono X yang ”Raja Yogyakarta” juga mau ikut serta.

Prinsipnya, semakin banyak capres-cawapres, semakin terbukalah mata kita semua. Lebih banyak opsi lebih baik ketimbang ”L4” (lu lagi, lu lagi).

Penyelenggaraan pilpres putaran pertama Juli 2009 masih tujuh bulan lagi. Ibaratnya, 1.001 skenario masih mungkin terjadi.

Di Pilpres Amerika Serikat telah terbukti hasil jajak-jajak pendapat sering keliru fatal—kecuali exit polls. Barack Obama dan John McCain secara terbuka mengaku tak pernah peduli dengan hasil survei-survei.

Pesan yang ingin disampaikan, capres-cawapres di sini enggak usah bergantung pada hasil survei-survei. Lebih baik siap dengan konsep-konsep penanggulangan ”tsunami ekonomi”.

Ambil contoh, tak pernah bosan diulangi di rubrik ini, bagaimana persiapan menghadapi tsunami ekonomi? AS megap- megap, Jepang dan Singapura resmi mengumumkan memasuki resesi.

George W Bush/Barack Obama bersama para menteri tak bosan mengulangi tekat mengatasi ancaman depresi. Kongres bolak-balik mengadakan dengar pendapat dengan eksekutif, pebisnis, dan ahli ekonomi.

Di sini? Maaf, pemerintah kok terkesan tenang sekali?

Pernyataan the real president bukan tak mungkin berkaitan dengan keprihatinan terhadap kondisi ekonomi. Ia juga mengajarkan, kritik terhadap kepemimpinan nasional hal yang wajar dalam demokrasi.

Rasanya ganjil pernyataan itu segera menimbulkan berbagai reaksi. Kalau melontarkan kritik keliru, lalu apa salahnya dengan pernyataan yang justru memuji?

Belum tentu benar ada klaim yang menganggap pernyataan itu mengganggu harmoni. Ingat, jabatan wapres bukan lagi ban serep yang hanya dipakai sekali- sekali.

Jadi, tolonglah bersikap santai menyambut kedatangan pesta demokrasi. Lagi pula, saya senang sekali dengan istilah the real president karena menghibur hati ini.

Dan, apa pun yang memakai embel-embel real sesungguhnya mencerminkan kondisi sehari- hari. Saya suka prinsip yang dalam bahasa Inggris berbunyi, I paint my own reality.

Istilah the real McCoy merupakan idiom yang merujuk pada ”hal yang sesungguhnya terjadi”. Salah satu film favorit saya The Real McCoy (1983) yang dibintangi Kim Basinger yang cantik sekali.

Di Indonesia hal yang serba unreal banyak sekali. Bisa saja yang jadi the real minister adalah istri sang menteri.

Anda pasti sering bertanya apa sih yang terjadi pada bangsa ini? Menurut saya, semuanya bersumber pada siapa yang menjadi the real enemy.

Ternyata musuh yang sebenarnya adalah kita sendiri. Apakah ini masih misteri?

Tidak ada komentar: