Sabtu, 13 Desember 2008

POLITIKA


Si Tongki

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY

Tak lama setelah Pak Harto lengser ing keprabon, saya menyurati Pak Ali Alatas menawarkan jasa membantu penulisan biografinya. Pak Ali membalas dengan surat tulisan tangan yang isinya cukup panjang.

Ia menampik—walau mengakui manfaat sejarah sebuah biografi—karena merasa tak berperan penting sebagai menlu. ”Suatu kali saya mungkin mau menulis, tetapi bukan biografi yang menonjolkan peran saya,” tulis Pak Ali.

Pak Ali negarawan yang rendah hati. Ia ikut mendirikan republik sebagai wartawan, memulai karier diplomat dari bawah, pernah menjadi asisten pribadi Wapres Adam Malik, dan Menlu 1988-1999.

Jika praktik HAM negeri ini tak amburadul, Pak Ali terpilih sebagai Sekjen PBB. Namun, ia tak pernah ngegerundel gagal menduduki posisi bergengsi itu karena mafhum fungsinya hanya membantu presiden.

Ia menyesali keputusan Presiden BJ Habibie mengadakan penentuan pendapat rakyat di Timor Timur. Pada akhir tahun 1990-an Pak Ali membekukan dialog tahunan menlu ASEAN-Uni Eropa gara-gara pelanggaran HAM di Myanmar.

Tahun ini bangsa dirundung malang karena lebih dari 20 tokoh yang berjasa telah pulang ke alam baka sebelum Pak Ali. Generasi 1945 yang wafat Ibu SK Trimurti, Pak Harto, Pak Jusuf Ronodipuro, dan Bang Ali.

Sama seperti Pak Ali, Pak Jusuf keburu pergi sebelum menulis biografi. Ia punya segudang cerita menarik tentang kehidupan pribadi salah seorang sahabatnya, yakni Bung Karno.

Selain Pak Ali, ”orang Deplu” yang dipanggil Tuhan adalah Fuad Hassan yang sempat jadi Kepala Balitbang Deplu. Selain Pak Ali, anggota Wantimpres lain yang tahun ini wafat adalah ekonom UI, Sjahrir.

Sayang, Pak Fuad dan Sjahrir juga belum sempat berkisah tentang perjalanan hidup masing- masing yang pasti menarik. Sjahrir yang sempat meringkuk di penjara Orde Baru, misalnya, tahu banyak apa yang terjadi di balik Malari, 15 Januari 1974.

Sejumlah mantan pejabat penting pada masa Orde Baru yang tutup usia tahun ini antara lain dua mantan menteri, Ismail Saleh dan M Sadli. Selain itu, juga mantan Gubernur Jawa Tengah Ismail serta Ashadi Tjahjadi (mantan KSAU).

Bangsa kehilangan lima penggiat film: Turino Djunaedi (produser), Kusno Sudjarwadi, Chitra Dewi, Sophan Sophiaan, dan Suzanna. Siapa tak kenal Kusno yang tenar berkat perannya sebagai Sapu Jagat di film Si Buta dari Goa Hantu (1970)?

Chitra top berkat salah satu film tonggak perfilman negeri ini, Tiga Dara (1956), bersama Mieke Wijaya dan Indriati Iskak. Sophan dan Suzanna mencatat sejarah baru masing-masing lewat Bunga-bunga Berguguran (1970) dan Bernafas dalam Lumpur (1970).

Dunia musik kehilangan musisi jazz senior, Bill Saragih, dan ikon rock 1970, Bangun Sugito (Gito Rollies). Dari dunia tak gemerlap yang berpulang ilmuwan/pemikir lingkungan Otto Soemarwoto, sejarawan Deliar Noor, dan pakar geologi JA Katili.

Tahun ini terlalu banyak ”orang bola” yang tutup usia: Acub Zaenal (Ketua PSSI pada era kepemimpinan Ketum Bardosono), mantan Pelatih Warna Agung Endang Witarsa, serta mantan dua kapten timnas, Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarany.

Pak Acub adalah pembina tak kenal lelah yang sukses mengasah ”mutiara-mutiara hitam” dari Papua. Ia mendirikan klub di Malang dan sebagai manajer memimpin timnas menjadi juara subgrup Pra-Piala Dunia 1986.

Ia juga pemompa semangat ulung yang memotivasi pemain berjuang habis-habisan di lapangan. Ia pemimpin flamboyan yang cepat marah, tetapi langsung menangis minta maaf menyesali perbuatannya.

Pekan depan timnas berlaga ke semifinal Piala AFF melawan Thailand. Apakah Bambang Pamungkas dan kawan-kawannya kali ini mampu ”menang” atau sebaliknya ”menangis”?

Beberapa waktu lalu saya tanya Nirwan Bakrie, kenapa enggak mencalonkan diri menjadi Ketum PSSI? Ia sudah 20 tahun malang melintang di PSSI dan tiba saatnya tampil menggantikan Nurdin Halid.

Apalagi Nirwan, sambil melantunkan hit The Beatles, ”When I’m Sixty Four”, mengaku mimpi menyaksikan timnas sukses 8 tahun lagi di kala usianya 64 tahun. Minggu lalu pertanyaan yang sama saya ajukan kepada Ketua Badan Tim Nasional PSSI Rahim Soekasah.

Rahim juga sudah ”lumutan” mengurus sepak bola 20 tahun terakhir. Nirwan atau Rahim, atau kombinasi kepemimpinan keduanya, mestinya bisa membongkar kemacetan kepemimpinan PSSI agar lebih segar.

Tak zaman lagi ewuh pekewuh kepada pemimpin yang terbukti menjadi sumber masalah. Prihatin tak ada gelar juara yang direbut PSSI selama 17 tahun terakhir di ajang ASEAN.

Dalil tentang pemimpin yang berani tampil bukan berlaku di sepak bola, tetapi juga di politik. Pemimpin bukan ”pemimpi” yang tak segan ambil tanggung jawab anak buah.

Hilangnya lebih dari 20 putra-putri terbaik menjadi peluang bertanya, bangsa ini mau dibawa ke mana? Baik Pak Ali, Pak Jusuf, Bang Ali, maupun Sophan sempat kecewa semasa hidupnya. Saya tahu mereka kritis terhadap kekuasaan yang tak pernah sepi dari ulah orang-orang lingkar dalam yang menyusahkan pemerintah. Ada Durna, Aspri, tukang pijit, pembisik, bahkan ”RI 1,5”.

Kini era orang-orang lingkar dalam ala Si Tongki. Anda ingat boneka kayu pandai bicara lewat teknik suara perut Gatot Sunyoto yang top pada awal 1970-an?

Mulut Si Tongki bak air tumpah ruah dari ember, Gatot komat-kamit bersandiwara. Pemimpin tak pernah merasa bersalah.

Tidak ada komentar: