Rabu, 17 Desember 2008

Negara Menularkan Premanisme


Toto Suparto

Pengujung 2008 diwarnai pembasmian premanisme. Siapa saja yang dianggap preman akan disapu aparat keamanan untuk kemudian ”dibina”.

Seorang penganggur yang sehari-hari terpaksa memungut retribusi liar dari toko ke toko mengaku tak luput dari razia preman itu. Penganggur itu dianggap pemalak dan harus ”dibina” beberapa hari di penjara milik kepolisian.

Sebenarnya penganggur itu beruntung. Jika saja dia diciduk pada era Orde Baru, dia sudah layak didor. Sebab, dia sudah memenuhi kategori preman. Kesehariannya sebagai pemalak didukung tato di beberapa bagian tubuh. Memang salah kaprah saat orang sudah mencirikan preman dengan tato. Layakkah selebriti yang tergila-gila tato disebut preman?

Bawaan Orde Baru

Anggapan itu ditanamkan Orde Baru. Semasa Orba, orang-orang bertato diburu pasukan khusus, lalu didor, dan dibungkus karung, dibuang. Pasukan itu dikenal sebagai penembak misterius alias petrus. Maka, sejumlah surat kabar acap memberitakan adanya mayat bertato.

Pada akhir 1983 dan awal 1984 mayat-mayat bertato ada di mana-mana. Saat itu, mayat bertato diistilahkan preman, gali (gabungan anak liar) atau centeng. Atas pembasmian preman ala petrus ini, Presiden Soeharto menenangkan masyarakat bahwa langkah itu sekadar shock therapy untuk menghentikan kejahatan karena kejahatan para preman telah mengganggu stabilitas nasional.

Maksud pemerintahan Orba menghentikan kejahatan preman tak berbuah, buktinya premanisme kembali tumbuh subur. Lantas muncul perbandingan, ”petrus” saja tidak mampu mematikan premanisme, apalagi jika sekadar ”dibina” seperti dilakukan sekarang.

Banyak yang beranggapan razia preman bakal sia-sia karena kategorisasi yang keliru. Padahal, secara harfiah, preman tak kenal kategorisasi. Preman adalah orang jahat. Sesungguhnya siapa pun yang berbuat jahat layak dirazia. Namun, entah mengapa, kali ini yang disapu sekadar kelas teri, para pengamen, pemalak jalanan, tukang parkir liar, pengatur lalu lintas amatiran, calo penumpang di terminal, atau pemuda bertato yang sedang nongkrong.

Saat kelas teri disapu, sementara kelas kakap dibiarkan hidup, maka premanisme akan terus berputar. Ibarat virus ia akan menulari yang lain. Premanisme yang menghalalkan kekerasan, melahirkan spiral kekerasan. Semula negara menyapu premanisme dengan kekerasan, preman pun menerapkan kekerasan untuk bertahan dari sapuan negara. Begitu senantiasa terjadi, sebagaimana spiral.

Alat kekuasaan

Penularan kekerasan bisa dijelaskan dengan beberapa konsep. Sifat orang jahat (preman) di antaranya memaksakan kehendak kepada orang lain meski ada perlawanan. Agar kehendaknya dipertimbangkan orang lain, preman menebar ketakutan. Di bawah ancaman ketakutan itulah kehendak mereka dipenuhi.

Saat para preman memaksakan kehendak, mereka ingin menunjukkan kekuasaan. Ini persis konsep Max Weber, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atas sekelompok orang untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain, meski ada penolakan, diwujudkan dengan perlawanan. Weber menambahkan kekuasaan manusia atas manusia lain berlandaskan instrumen legitimasi, yakni kekerasan. Sejalan dengan konsep Weber, baik ditengok prinsip Leviathan dari Hobbes, bahwa dalam suatu negara, untuk mengendalikan manusia secara obyektif, tanggung jawab moral tidak menjadi perhatian utama, yang terpenting bagaimana negara membuat takut masyarakat.

Dalam keseharian, sulit dimungkiri, negara pun mengadopsi pemahaman Weber dan Hobbes, menempatkan kekuasaan berdampingan dengan kekerasan. Contoh yang paling sering muncul ke publik, negara menggunakan kekerasan saat hendak menggusur kaum marjinal. Entah itu dibungkus dengan satpol PP atau aparat lain, tetapi tetap saja ada praktik kekerasan. Kesannya tak ada cara yang lembut manusiawi. Jika adopsi itu berlanjut, mustahil menghentikan premanisme.

Artinya, selama negara masih mempraktikkan kekerasan, praktik ini menular ke masyarakat, termasuk kalangan yang dikategorikan preman. Maka, benar teori Hannah Arendt, kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil bukan sesuatu yang terpisah dari kekerasan oleh negara. Masyarakat pun terbiasa menerapkan kekerasan dalam segala aspek kehidupan. Preman mengedepankan kekerasan untuk menunjukkan ”kekuasaan” mereka.

Penguasa maupun calon penguasa negara mengadopsi kekerasan untuk mencapai maupun memelihara kekuasaan. Lihat, elite politik pun memelihara sekelompok orang yang sering menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan rintangan sepanjang jalan menuju kekuasaan. Inilah benih membahayakan saat kekuasaan telah digenggam.

Secara teori ada pilihan untuk menghindarkan kekerasan dalam kekuasaan. Seperti konsep kekuasaan Arendt yang mensyaratkan adanya tindakan komunikatif. Model tindakan komunikatif ini mendefinisikan kekuasaan sebagai pembentukan keinginan bersama melalui komunikasi dan kesepakatan.

Namun, di negeri ini keinginan bersama nyaris tak berwujud. Keinginan itu lebih dominan egosentris kelompok maupun perorangan. Artinya, kekuasaan komunikatif sulit diterapkan dan langgenglah kekuasaan model Weber atau Hobbes. Atas dasar ini, jangan terlalu berharap premanisme bisa dibersihkan. Perlu ada cara lain sekadar menebar ketakutan kepada preman. Sebab, begitu ketakutan itu pupus, preman beraksi kembali. Masalahnya, penularan dari negara terus berlangsung.

Toto Suparto Peneliti Puskab Yogyakarta

Tidak ada komentar: