Rabu, 10 Desember 2008

Hari Antikorupsi Sedunia


Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember berlangsung di sejumlah kota. Sejumlah kalangan memanfaatkan momentum ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi mengimbau penyelenggara negara untuk tidak melakukan korupsi dengan segala derivasinya. KPK juga menyerukan masyarakat untuk tidak berkolusi dengan penyelenggara negara untuk melakukan perbuatan melawan hukum.

Partai Demokrat memasang iklan di sejumlah media untuk menyatakan ”tidak” terhadap korupsi! Berbagai model, berbagai upaya, dilakukan untuk menghentikan korupsi di negeri ini. Sekolah kejujuran diintroduksi di sejumlah sekolah untuk menanamkan nilai kejujuran. Kemarin, berbagai kelompok masyarakat turun ke jalan. Ada yang membagikan stiker antikorupsi, bunga antikorupsi. Dalam praktiknya, penindakan terhadap tersangka korupsi masif dilaksanakan, tetapi kita tetap bertanya mengapa korupsi terus dan tetap saja terjadi.

Tanggal 9 Desember diambil sebagai Hari Antikorupsi berbarengan dengan ditandatanganinya Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention Against Corruption, UNCAC) di Merida, Meksiko, 9-11 Desember 2003. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi itu pada 18 April 2006 dengan UU Nomor 7 Tahun 2006.

Peringatan Hari Antikorupsi kali ini sebenarnya mendapatkan momentum penting karena berbarengan dengan peringatan 60 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disepakati Majelis Umum PBB 10 Desember 1948. Deklarasi tersebut bukan hanya mengatur mengenai hak sipil dan politik, tetapi juga hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Gerakan sosial masyarakat untuk memberantas korupsi sangat terkait dengan upaya pemerintah memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kemiskinan yang terjadi di Tanah Air, hilangnya akses pendidikan kaum miskin, busung lapar yang terjadi di sejumlah daerah juga disebabkan praktik korupsi yang terus saja terjadi. Jika angka korupsi bisa ditekan, anggaran pemerintah itu bisa digunakan untuk memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.

Konvensi Antikorupsi lahir dari sebuah keprihatinan bangsa-bangsa atas ancaman serius yang ditimbulkan oleh korupsi. Korupsi telah mengancam stabilitas, keamanan masyarakat yang merusak lembaga dan nilai demokrasi, nilai etika, dan keadilan, serta mengacaukan pembangunan berkelanjutan. Oleh konvensi itu, korupsi telah ditempatkan sebagai musuh bangsa-bangsa!

Kita mendukung peringatan Hari Antikorupsi 2009 sebagai titik awal gerakan sosial. Pemberantasan korupsi tak mungkin hanya diserahkan kepada otoritas negara. Lembaga internasional, korporasi internasional, kelompok masyarakat harus ikut mempunyai komitmen yang sama. Peringatan Hari Antikorupsi hendaknya tidak sekadar seremoni, tetapi mewujud menjadi kesadaran kolektif bangsa untuk tidak melakukan korupsi!

***

China Bisa, Bagaimana Kita

Sangat wajar apabila orang tergoda untuk bertanya: resep rahasia apa yang dimiliki para pemimpin China sehingga mereka bisa membawa negerinya maju?

Dalam tempo 30 tahun sejak kebijakan ”reformasi dan keterbukaan” disahkan dalam Sidang Pleno III, Kongres XI Partai Komunis China, negeri itu telah menjelma menjadi kekuatan raksasa di dunia ini.

Selama masa itu, banyak perubahan yang membuat banyak bangsa berdecak kagum. Sang Naga—begitu China sering disebut—tidak tertatih-tatih berjalan membawa beban rakyatnya yang berjumlah 1,3 miliar jiwa.

Bahkan, dua dekade setelah reformasi, perusahaanperusahaan besar China telah lepas landas menjadi pemain global. Barang-barang China membanjiri seluruh pelosok dunia, termasuk ke Indonesia.

Ada banyak teori yang disampaikan para cerdik pandai untuk menjawab fenomena China itu. Meminjam pendapat I Wibowo dalam Belajar dari China, langkah pertama dan menentukan yang diambil China adalah merevisi ideologi resminya.

Ideologi komunis, yang sebelumnya diagung-agungkan, oleh para reformis diganti dengan ideologi yang lebih cocok dengan situasi, keadaan, dan kondisi baru. Maka lahirlah ”sosialisme tahap awal”. Sistem ekonominya yang sebelumnya ”terencana secara terpusat” diganti dengan ”ekonomi pasar sosialis”.

Globalisasi juga telah memaksa China berpikir dan bekerja keras serta menanggapinya dengan penuh kecerdikan. Globalisasi tidak hanya membuat manusia dan barang tersebar ke seluruh dunia dengan mudah, tetapi juga menimbulkan persaingan keras dan ketat antarbangsa. Menjawab semua itu, China, menurut Michael Porter, mengembangkan productivity culture.

Budaya keproduktifan itu menghasilkan serangkaian nilai tinggi. Misalnya, produktivitas itu baik, kompetisi itu baik, akuntabilitas itu baik, adanya standar peraturan yang berkualitas tinggi itu baik, investasi dalam kapabilitas dan teknologi itu perlu, tenaga kerja adalah aset, serta pendidikan dan keterampilan adalah penting untuk mendukung kerja yang lebih produktif. Nilai-nilai seperti itu yang mereka pegang dan praktikkan, dan negara berperan penting dalam mengembangkannya.

Di mana kita berada? Ketika China mengembangkan budaya keproduktifan, kita malah masih asyik dengan ”budaya berwacana”. Di tengah ”dunia datar”, meminjam istilah Thomas Friedman, kita akan tertinggal dan menjadi kelas dua apabila tetap mempertahankan ”budaya wacana” dan tidak siap bersaing.

Alhasil, kita tidak mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain dengan penuh martabat, seperti China.

Tidak ada komentar: