Rabu, 17 Desember 2008

Awas Politik Anarki


Dony Kleden

Gejolak anarki ada di sekitar kita. Ia hadir dan tampil dalam banyak wajah dan tidak selalu vulgar dalam mengomunikasikan dirinya. Inilah bahaya laten dalam peta perpolitikan Indonesia zaman ini.

Tindakan anarki cenderung dipahami dalam arti luas, tetapi sebenarnya dangkal, yakni semua tindakan yang melawan negara atau membahayakan keamanan dan keutuhan negara. Pemahaman seperti ini tidak salah, tetapi jika kita berhenti pada pemahaman yang dangkal ini, kita akan terjebak momen nihilistik.

Anarki yang hadir secara tidak vulgar cenderung dinafikan pada hal ia berpotensi membubarkan negara. Momen nihilistik meruangkan konflik sosial. Anarki zaman ini pada peta politik Indonesia ada dalam sistem politik itu sendiri yang sebenarnya adalah pilar dan representasi politik bangsa. Anarki ini cenderung mengelabui publik dengan aneka wacana keadilan, padahal dia sendiri merampas dan bertindak tidak adil.

Politik anarki

Bangsa Indonesia menyimpan aneka tindakan anarki. Politik anarki cenderung meremangkan kesadaran sosial. Geliat anarki melahirkan ketercabikan kehidupan sosial sebagai bentuk destrusi moral. Ada beberapa politik anarki yang telah terjadi di negara kita dan hingga kini belum dikuak dan ditangani serius, seperti korupsi, pelecehan hukum, pemasungan demokrasi, dan fanatisme.

Pada kasus korupsi, politik anarki ini bersetubuh dengan pelecehan hukum yang hadir dan melumpuhkan jejaring kesejahteraan yang seharusnya dinikmati semua warga. Politik anarki ini mengklaim diri sebagai yang berhak memiliki, memanfaatkannya secara sepihak, apalagi sistem birokrasi yang bobrok mengondisikannya.

Integritas moral politisi terisap ke dalam ”massa” birokrasi yang korup sehingga politisi sendiri akhirnya kehilangan diri. Dalam sistem birokrasi yang korup, tindak korupsi menjadi sesuatu yang banal. Mengusut kejahatan korupsi berarti membuka labirin dosa dan magma kejahatan yang terus saja menyembul.

Kedua, fanatisme. Politik anarki jenis fanatisme ini mengkristal dalam berbagai macam klaim kebenaran. Klaim kebenaran itu bisa muncul dalam berbagai macam bidang di antaranya agama, budaya, ideologi, dan ras. Politik anarki ini memarjinalkan kebersamaan dan melihat segala macam perbedaan sebagai ancaman. Ia merasa tidak aman dengan adanya kehadiran the other (heterofobia).

Bentuk anarki keempat adalah pemasungan demokrasi. Demokrasi yang sebenarnya adalah perekat sosial antargolongan masyarakat telah menjadi nista oleh politik anarki yang melihat demokrasi sebagai kebebasan untuk bersaing. Politik anarki jenis ini berangkat dari keegoan dan kerakusan akan kekuasaan. Perdebatan wacana, saling menyalahkan dan mengumpat, adalah tanda bahwa demokrasi kita belum sampai pada kompromi, baru sebatas persaingan. Lihat pada setiap pemilu yang disebut pesta demokrasi. Di sana banyak terjadi politik anarki yang disiasati dalam banyak bentuk dan diperuncing dengan berbagai cara.

Politik untuk rakyat

Nelson Mandela telah menjadi ikon bukan hanya bagi rakyat Afrika Selatan, tetapi juga untuk semua rakyat yang merindukan figur seorang pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Ia telah mendapat tempat di hati rakyat Afrika Selatan. Sepanjang pemerintahannya, ia tunduk pada kepentingan rakyat dengan menjunjung tinggi semangat demokrasi yang menjadikan rakyat sejahtera.

Demikian pula Presiden Bolivia Evo Morales yang memahami politik sebagai ilmu melayani rakyat, bukan hidup dari rakyat.

Di Indonesia, Bung Hatta juga menjadi inspirasi bagi politisi yang mau berpihak kepada rakyat, bukan pada diri, kelompok, atau golongan tertentu. Komitmennya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang mengutamakan rakyat menjadikannya sebagai pemimpin dan pahlawan besar dalam sejarah Indonesia. Ia mundur dari wakil presiden saat merasa posisi itu tidak membuatnya mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bung Hatta mewariskan ketulusan politik untuk membangun suatu bangsa.

Baik Nelson Mandela, Evo Morales, maupun Bung Hatta adalah figur pemimpin yang tahu diri. Mereka tahu bahwa posisi yang dimiliki bukan sebuah kesempatan untuk menggapai cita-cita dan ambisi pribadi. Mereka adalah pemimpin yang punya prinsip, yang teguh dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Bagi mereka, politik adalah melayani rakyat. Rakyat adalah kata kunci dalam politik itu sendiri.

Sanggupkah para politisi kita sekarang ini menghadirkan Nelson Mandela dan Bung Hatta dalam politiknya sehingga rakyat tidak hanya terus mencerca para politisi sebagai yang anarki, tetapi pada akhirnya juga bisa percaya dan menyanjung politisi yang tahu dan menjawab situasi negara ini?

DONY KLEDEN Rohaniwan; Pemerhati Masalah Politik, Tinggal di NTT

Tidak ada komentar: