Sabtu, 13 Desember 2008

Menanti Menguatnya Peran Negara


Oleh SUWARDIMAN, GIANIE & BE JULIANERY

Negara merupakan institusi politik yang semestinya bertanggung jawab terhadap setiap segi kehidupan rakyatnya. Dengan modal legitimasi politik dan hukum, negara yang diwakili lembaga-lembaganya menjadi ”eksekutor” untuk kemudian mengemban tujuan mulia mewujudkan tatanan kesejahteraan masyarakat yang dicita-citakan.

Namun, tidak jarang, kinerja lembaga-lembaga negara tidak memuaskan rakyat, bahkan membingungkan dan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Padahal, jika bersandar pada tesis Huntington, kelengkapan lembaga-lembaga saja tidak cukup untuk mengukur apakah sebuah negara sudah demokratis atau tidak. Yang lebih penting adalah bekerjanya fungsi ideal dari lembaga-lembaga itu (Political Order in Changing Society, 1968).

Setelah sepuluh tahun lepas dari rezim otoriter dan sepanjang perjalanan pada tahun 2008, sejumlah indikasi memperlihatkan masih lunglainya negara kita berhadapan dengan berbagai ”tantangan demokrasi”. Di mata publik, kondisi politik negara hingga empat tahun terakhir masih dinilai lebih banyak mengecewakan (lihat tabel).

Berbagai persoalan masih menggurita dalam berbagai lapisan. Dalam ketatanegaraan, fungsi dari lembaga-lembaga yang berada dalam sistem ketatanegaraan belum tersinkronisasi. Gap masih terjadi antara komponen pemerintahan dan birokrasi. Kebijakan yang dibuat di tingkat pemerintah pusat, misalnya, masih terdistorsi berbagai kepentingan di tingkat departemen maupun daerah. Belum lagi bertemunya berbagai konflik kepentingan dan mentalitas korupsi.

Akibatnya, proses demokratisasi yang berkembang hingga akhir tahun ini masih lebih banyak didominasi oleh demokrasi prosedural dan tetek bengek simbolisasi kekuasaan ketimbang penguatan substansi kelembagaan.

Terjadinya perubahan konstitusi, pelaksanaan pemilu langsung, pembentukan parlemen bikameral, dan lain-lain, yang disebut-sebut sebagai ”lompatan besar” proses reformasi, nyatanya belum memiliki ”ruh” demokrasi itu sendiri. Sepanjang tahun ini, yang tampil mengemuka justru dominasi elite mengejar kekuasaan dan materi.

Sepanjang tahun 2008 ini, publik menyaksikan melalui media berbagai drama kekuasaan. Berita keterlibatan pejabat negara, wakil rakyat, serta aparat negara dengan korupsi dan tindak tak terpuji seperti cerita harian yang terjadi berulang kali baik di pusat maupun di daerah. Tugas sebagai alat negara, pengawas pemerintah, dan legislator negara ”tenggelam” oleh hiruk- pikuk mencari kekuasaan dan kenikmatan sendiri.

Tak heran, persepsi publik jajak pendapat Kompas terhadap citra kinerja berbagai pejabat publik negara senantiasa buruk. Ambil contoh wakil rakyat, citranya terus menurun dalam empat tahun terakhir. Tahun 2005, sebanyak 58,8 persen responden menilai citra DPR buruk. Begitu pula dalam jajak pendapat April 2008, tujuh dari sepuluh responden menilai citra DPR buruk. Dalam jajak pendapat Juli 2008 hal itu memburuk lagi, menjadi 81,3 persen responden yang menilai citra DPR buruk.

Penguatan demokrasi

Mengutip Francis Fukuyama (Memperkuat Negara, 2005), salah satu ciri lain negara yang kuat adalah kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan berlebihan.

Faktanya, penguatan sistem hukum dan struktur kelembagaan negara sebagai ”landasan” demokrasi tidak cukup tanpa modal sosial lainnya, seperti penghargaan kepada kemanusiaan dan pengakuan terhadap perbedaan. Secara substansi ”kekayaan nilai-nilai” itu belum pulih kalau tak mau dibilang memburuk. Lebih dari separuh responden (55 persen) dalam jajak pendapat bulan Agustus menilai kemampuan menerima perbedaan pendapat makin lemah di masyarakat kita saat ini. Adapun toleransi dan tenggang rasa makin hilang yang dinyatakan oleh 80,5 persen responden.

Tampilnya kelompok-kelompok penekan di ruang publik, sebagaimana tecermin dalam insiden Monas bulan Juni lalu, menampilkan sisi lain kelemahan soft democracy yang dijalankan pengelola negara saat ini. Kebebasan mengemukakan pendapat sebagai buah reformasi belum diimbangi dengan kemampuan masyarakat mengelola perbedaan di tengah sikap kehati-hatian yang cenderung lembek dari alat- alat negara.

Di sisi lain, penegakan hukum belum beranjak dari agenda pemberantasan korupsi. Korupsi masih menjadi problem besar yang menggurita tubuh kelembagaan negara. Menurut catatan Kompas, sepanjang tahun 2008 saja, KPK menangkap dan menahan sedikitnya 42 pejabat negara, mulai dari pejabat daerah, anggota DPR, hingga aparat hukum.

Fakta ini menunjukkan, jangkauan hukum memang masih seputar kasus-kasus korupsi yang berputar di wilayah birokrasi dan politik saja. Dinamika persidangan kembali terdakwa kasus pembunuhan aktivis HAM Munir sebagai contoh mengindikasikan komitmen dari pemerintah. Namun, hal itu juga menunjukkan, kekuasaan hukum kerap kali menemui ”tembok” tatkala berusaha menjangkau pelaku-pelaku dengan kekuatan senjata, politik, maupun ekonomi yang besar.

Keberpihakan hukum

Keterbatasan jangkauan hukum negara juga terlihat nyata dalam warna politik perundang- undangan. Berbagai peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan, seperti UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Pertambangan, serta UU Penanaman Modal Asing, belum berorientasi kepada rakyat sendiri. ”Karpet merah” justru diberikan kepada pemodal asing atas nama iklim investasi, pertumbuhan, dan akhirnya liberalisasi perdagangan.

Lebih dari separuh (52,5 persen) responden jajak pendapat bulan Maret menilai produk UU yang dihasilkan DPR saat ini belum berpihak kepada masyarakat. Peraturan negara masih menjadi instrumen penguasaan sumber daya alam dan pengambilalihan tanah dengan dalih kepentingan umum, padahal di balik itu ada kepentingan investasi skala besar bernama korporasi.

Melalui kebijakan liberalisasi, perdagangan rakyat justru menjadi tak berdaya di hadapan aktor-aktor kapital global, seperti tatkala produk ekonomi rakyat harus berhadapan dengan produk raksasa kapital negara maju. Tengok saja marjinalisasi kekuatan ekonomi rakyat dengan kehadiran raksasa ritel sepanjang tahun 2008 ini saja, dekat pasar-pasar tradisional di berbagai penjuru kota negeri ini.

Contoh lain adalah soal karut- marut sebagai dampak kebijakan desentralisasi. Lewat otonomi daerah, para bupati mengeksploitasi sumber daya alam di wilayahnya dengan berbagai dalih pembangunan wilayah. Tindakan ini kerap kali didahului konflik dalam pengambilalihan tanah warga. Semua terjadi dengan mudah karena keterlibatan birokrasi daerah yang berkolaborasi dengan pusat sebagaimana kasus alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan.

Lebih dari separuh responden (52,0 persen) jajak pendapat bulan April menyatakan, pemerintahan daerah di bawah rezim otonomi daerah saat ini belum mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Kebijakan-kebijakan daerah sering justru mengikuti dinamika yang kerap tak sesuai dan tak menjadi acuan bagi masyarakat lokal. Di sisi lain, lembaga politik lokal belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk menjadi ”mercusuar” bagi masyarakat.

Preferensi politik

Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun depan bisa jadi merupakan momentum penting penguatan sistem demokrasi negara ini. Seperti halnya di negara demokrasi mana pun, mekanisme pemilu acapkali menentukan ”nasib” penguatan demokrasi secara signifikan karena di situlah kita memilih tokoh yang bakal memandu demokrasi itu.

Jajak pendapat Kompas sepanjang 2008 menunjukkan, citra kelembagaan negara tidak selalu sama dengan citra kesukaan politik publik, seperti citra parpol, misalnya. Meski pernah dihujat dan ”dihukum” publik, partai besar, seperti Golkar dan PDI-P, tetap bertengger sebagai partai dominan dalam kontestasi politik nasional.

Setali tiga uang soal calon presiden yang disukai. Meski keinginan publik untuk terjadinya ”perubahan” kepemimpinan cukup tinggi, toh ”grafik” tingkat kesukaan publik terhadap Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono masih mapan. Preferensi responden kepada kedua nama ini mencakup 46,2 persen suara pada jajak Oktober 2008 meski kini mulai dibayang-bayangi Sultan Hamengku Buwono X.

Belum tampak indikasi peluang yang terbuka bagi kontestan muda tampil di panggung kepemimpinan nasional dengan tawaran citarasa kepemimpinan nasional yang berbeda. Apalagi parpol-parpol yang menguasai DPR juga ”bermain” dengan kepentingan mereka dalam pembentukan perundang-undangan pemilu 2009.

Apakah ini merupakan ambiguitas sikap publik, yang juga melemahkan upaya penguatan kelembagaan negara, masih perlu dibuktikan. Toh, publik semakin berpengalaman memilih pemimpin negara dan partai yang dinilai memiliki kesungguhan dalam membela kepentingan rakyat. Apalagi, kini mulai muncul kegundahan publik atas mekanisme demokrasi yang bertele-tele dan boros.

Dalam berbagai bentuk, negara seharusnya memperlihatkan wujud keberpihakan dan perlindungan terhadap kepentingan publik melalui penguatan kelembagaan. Peran ini yang seharusnya digunakan dalam strategi politik hukum maupun politik perekonomian nasional menuju negara kesejahteraan. Hilangnya elemen dasar serta otoritas yang efektif dan terlembaga akan menghilangkan kemampuan negara dalam mewujudkan ketertiban, kebebasan, serta kesejahteraan. (SUWARDIMAN, Gianie & BE Julianery/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: