Kamis, 11 Desember 2008

Pemerintah yang Tidak Memerintah


Ungkapan sarkastik bahwa keledai pun tak ingin terperosok dua kali di lubang yang sama, yang membuat ia makin terlihat begitu bodoh, rasanya kembali menemukan signifikansinya ketika melihat peta persoalan ekonomi kita hari ini. Selama satu dekade terakhir ternyata kita memang belum banyak belajar dari kesalahan masa lampau.

Sebagai bangsa, tentu saja kita jauh lebih pintar daripada keledai. Lihatlah, untuk menata bangsa ini, para teknokrat punya fokus dan perencanaan yang begitu bagus. Konsep-konsep pembangunan yang dirancang, berikut program-program andalan pemimpin pemerintahan yang diekspos ke publik manakala bangsa ini dihadapkan pada satu situasi kritis, di atas kertas terlihat serba sempurna.

Namun, dalam banyak kasus, gagasan-gagasan besar itu kerap tidak jalan di tingkat implementasi. Faktor koordinasi yang tidak berjalan mulus diakui oleh peserta diskusi sebagai salah satu penyebabnya. Ego sektoral yang sudah menjadi salah satu ciri buruk pembangunan masa lampau di negeri ini sepertinya masih terus bertahan, bahkan terkesan ”dipelihara”, sehingga gagasan-gagasan besar itu hanya terlihat menarik di tingkat wacana.

Dalam kasus lain, tiap kali suatu kebijakan dengan perencanaan yang begitu bagus tersebut akan dieksekusi, dalam praksis di lapangan tidak jarang menimbulkan semacam distorsi. Begitu dihadapkan pada kepentingan-kepentingan lain di luar masalah ekonomi, tetapi dianggap bisa mengganggu popularitas sang pemimpin, misalnya, muncul sikap ragu-ragu.

Belum lagi bila dikaitkan pada perubahan sistem demokrasi dari sentralisasi ke desentralisasi, dengan euforia otonomi daerah yang cenderung berlebihan, ketidaktegasan menjalankan program yang sudah dirancang masih terlihat menonjol. Padahal, kemampuan mengimplementasikan suatu kebijakan yang sudah menjadi ”tujuan bersama”—tentu setelah melewati tahapan-tahapan perencanaan yang sudah teruji—harus dikawal oleh model kepemimpinan yang kuat dan teguh pada tujuan.

Infrastruktur ekonomi

Di bidang infrastruktur, berbagai upaya mereformasi sektor ini sudah digagas paling tidak sejak tahun 2005. Instrumen-instrumen pendukung pun sudah disiapkan. Skema kerja sama dengan swasta juga dirintis, termasuk mekanisme penjaminan oleh pemerintah terkait proyek-proyek infrastruktur ekonomi yang melibatkan pihak swasta.

Upaya membangun prasarana jalan di lintas timur Sumatera agar benar-benar mantap, guna menunjang mobilitas perekonomian skala menengah-besar, tentu saja harus diapresiasi. Juga rencana pengembangan ruas jalur Jakarta-Surabaya yang melibatkan swasta, terlepas dari pro-kontra yang mengikutinya, adalah gagasan besar untuk meretas permasalahan mobilitas barang dan jasa, yang pada gilirannya akan dapat memobilisasi kekuatan ekonomi rakyat.

Begitu pun upaya memecahkan kebuntuan akses barang ekspor-impor dari kawasan industri menuju pelabuhan, seperti gagasan melibatkan pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan swasta dalam kasus ruas Cikarang- Tanjung Priok, bisa dianggap sebagai langkah maju. Belum lagi menyangkut proyek-proyek infrastruktur pedesaan, pembangunan irigasi, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, konsep pengembangan dan skema-skema yang dirancang tersebut masih dihadapkan pada kompleksitas permasalahan di lapangan. Pemantapan lintas timur Sumatera nyatanya masih bersifat ”tambal sulam”. Arus angkutan barang dari dan ke pelabuhan masih menjadi masalah besar. Nota kesepahaman yang sudah ditandatangani antarpihak, dalam kasus Cikarang- Tanjung Priok, ternyata tidak berjalan mulus.

”Kawasan industri Cikarang (di Bekasi) itu dihuni sekitar 2.000 perusahaan dengan nilai lebih kurang 10 miliar dollar AS atau 15 persen dari total ekspor nonmigas tahun 2005. Walau jaraknya hanya tiga kilometer dari pintu Tol Cikarang, saking macetnya, angkutan barang dari kawasan industri ini untuk masuk tol saja butuh 1-2 jam,” kata salah seorang peserta diskusi.

Tak berlebihan bila disebutkan seorang narasumber dari kalangan pemerintah bahwa daya saing kita di bidang infrastruktur masih sangat rendah. Dibandingkan Banglades, Nepal, dan Kenya, boleh jadi Indonesia sedikit lebih baik. Namun, secara umum ketersediaan infrastruktur penunjang aktivitas ekonomi yang kita miliki masih belum cukup memadai untuk menopang persaingan di tingkat global. Posisi Indonesia selalu berada di level menengah-bawah dan belum pernah masuk ke level menengah-atas.

Salah satu penyebabnya, di saat krisis kita memang tidak membangun apa-apa. Infrastruktur dianggap tidak begitu mendesak di tengah keterpurukan yang melanda negeri ini. Padahal, di banyak negara, justru sebaliknya: di saat krisis malah infrastruktur harus segera dibangun agar perekonomian bisa bangkit.

Dihadapkan pada kompleksitas persoalan semacam ini, lagi- lagi isu menyangkut pentingnya kepemimpinan yang kuat menjadi suatu keniscayaan. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar berbicara tentang konsep-konsep yang mumpuni, lalu didiamkan, tetapi sejauh mana gagasan-gagasan besar itu bisa diimplementasikan di tingkat praksis.

Kesadaran bahwa Indonesia masih berada di tengah krisis haruslah dipahami tidak sekadar dalam tataran politis, melainkan satu situasi yang memang masih terjadi. Politik pencitraan sudah waktunya ditinggalkan.

Ironisnya, di tengah situasi yang begitu berat, yang mestinya memerlukan tindakan-tindakan ekstra luar biasa, yang membutuhkan kedisiplinan tinggi untuk mengawal perubahan dan tetap fokus pada rencana yang ingin dituju, para pemimpin bangsa justru seperti terlihat bermain- main dengan kekuasaan. Di satu sisi, ada kesan serba menggampangkan persoalan yang dihadapi, tetapi pada saat bersamaan kecenderungan untuk menerapkan politik pencitraan terasa begitu menonjol, terutama akhir- akhir ini melalui iklan-iklan politik para menteri yang bahkan sampai ”membeli” slot acara di televisi.

Bangsa ini memang membutuhkan pemimpin yang tangguh, kuat, tetapi sekaligus memiliki fleksibilitas untuk bermanuver dalam mencapai tujuan. Sebab, meminjam ungkapan seorang peserta diskusi, ”... kita tidak berenang di air yang datar, tetapi di antara gelombang besar. Oleh karena itu, kita harus berenang di atas air dan bukan di bawah air. Orang yang kaku akan terperangkap di bawah air sehingga akhirnya mengalami kesulitan.”

Ini memang sebuah paradoks. Di satu sisi, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang kuat, teguh pada tujuan, dan selalu fokus pada kebijakan yang diprioritaskan, tetapi pada saat bersamaan ia mesti fleksibel untuk melakukan manuver demi pencapaian tujuan.

Di atas segalanya, yang tak kalah penting adalah bagaimana pemerintah bisa memahami kekesalan seorang peserta diskusi dari kalangan pelaku bisnis terkait model kepemimpinan saat ini, yang ia nilai kurang tegas. Sampai-sampai ia berkata, ”... sebenarnya kita punya pemerintah, tetapi tak memerintah....” (ken)

Tidak ada komentar: