Minggu, 07 Desember 2008

Politisi Indonesia dan Semangat Obama


Melihat Barack Obama berpidato, ingatan kita akan kembali pada kenangan saat presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno, berpidato. Semua orang menghentikan aktivitas saat melihat mereka berpidato di televisi atau mendengar di radio.

Melihat Obama atau Soekarno berpidato, seperti melihat pentas kehidupan penuh warna dipaparkan di hadapan kita. Obama mampu berargumentasi dengan tenang dan tidak termakan emosi oleh kampanye negatif lawan-lawannya. Semua kampanye negatif itu mampu disangkal Obama dengan penjelasan yang singkat, logis, dan membuat lawannya tidak memiliki amunisi untuk menyerangnya. Namun, tentu kemampuan pidato saja tidak cukup. Seorang politikus sekaliber Obama mampu menaklukkan publik AS karena memang dinilai layak.

Apa yang bisa dipetik dari fenomena luar biasa itu, terutama bagi politisi kita? Pertama, sejarah pergulatan hidup mantan Senator Illinois itu mampu membuktikan yang dikatakan oleh penulis buku Berpikir dan Berjiwa Besar, David J Schwartz. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa banyak orang yang pandai beralasan untuk menunjukkan mengapa dia gagal. Dalam posisi Obama, sebenarnya dia bisa membuat banyak alasan untuk gagal.

Misalnya dia berkulit hitam. Namun, Obama sejak berusia belasan tahun di Jakarta mengatakan pada gurunya, bahwa dia ingin menjadi presiden. Itu artinya Obama telah membuat keputusan sejak awal bahwa dia akan menjadi Presiden AS kala itu. Tampaknya Obama terlalu "cerdas" untuk menghiraukan alasan terbesar, sekaligus fakta terbesar bahwa dia seorang kulit hitam. Obama memutuskan untuk tidak menjadikan alasan terbesar itu sebagai penghalangnya.

Sebaliknya, dia mampu membalik kelemahannya paling mendasar itu sebagai kekuatan paling mendasar pula. Dalam berbagai kampanye Obama menegaskan bahwa dialah calon pencetak sejarah sebagai presiden AS kulit hitam pertama dalam 232 tahun sejarah berdirinya Negeri Paman Sam. Kekuatan sugesti yang mampu dipancarkan pria kulit hitam itu pun mampu memengaruhi publik AS. Pendukungnya pun tidak hanya dari kalangan kulit hitam, tapi juga berasal dari kalangan hispanik, pekerja kulit putih, kelas menengah, kelas atas,bahkan dari kalangan selebriti.

Obama juga konsisten dengan tema kampanye yang singkat, padat, jelas, yakni satu kata, "change" atau perubahan. Kata itu sudah mewakili semua hal yang bisa dijelaskan lebih detail dalam setiap kampanyenya. Obama tidak mengumbar banyak kata untuk menjelaskan inti isunya.***

Politisi Indonesia tentu bisa belajar dari beberapa catatan di atas, ketika kita ingin belajar dari Obama yang memang memiliki sedikit "cita rasa" Indonesia. Pertama, politisi kita harus bisa menjadikan kelemahan terbesarnya sebagai kekuatan terbesar untuk mengalahkan lawan-lawannya.

Yang memprihatinkan, banyak dari pemuda Indonesia yang berlindung di balik kelemahannya. Seperti dikatakan Paulo Coelho, saat kita bermimpi, alam semesta akan membantu mewujudkan impian kita.Keyakinan ini bisa ditanamkan sejak dini pada para pemuda, yang itu merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan. Mereka jangan takut untuk bermimpi, seperti Obama yang saat kecil hingga dewasa merasa ringan dan tanpa dosa, untuk bermimpi menjadi presiden AS.

Kedua, politisi kita harus memiliki kemampuan "menjual" idenya dengan strategi "marketing" yang elegan. Mereka harus memiliki visi jangka panjang yang jelas tentang tujuan maju sebagai politisi. Tentu saja mereka harus memiliki idealisme untuk memperjuangkan rakyat kecil. Perlu ditekankan, kemenangan Obama sebagian besar karena dukungan suara dari kalangan menengah ke bawah. Mereka menyukai rencana pemotongan pajak yang dikemukakan Obama dalam kampanye.

Kalangan menengah ke bawah inilah yang juga harus dibela oleh politisi kita. Jika seorang politisi hanya memikirkan kepentingan elite, dia mungkin tidak akan langgeng memegang kekuasaan, kecuali dia bermain curang atau melakukan jual beli suara. Karena logika demokrasi adalah logika dukungan suara, dan dukungan suara terbesar itu dimiliki oleh kalangan menengah ke bawah, alias rakyat kecil di pedesaan.

Ide yang hendak dijual politisi kita dalam kampanye mereka nanti harus jelas dan menunjukkan keberpihakan kepada rakyat kecil. Tentu saja, ide tersebut harus diuji oleh publik melalui debat terbuka, seperti yang ada dalam iklim demokrasi yang sehat. Debat terbuka ini penting dilakukan untuk mendewasakan konstituen kita tentang makna kebebasan mengemukakan pendapat. Selama ini konstituen kita masih terpasung oleh doktrin politik lama yang mengekang kebebasan pendapat. ***

Obama membangun keahlian kepemimpinannya sejak dini. Saat sekolah dasar di Jakarta dulu Obama paling suka jika disuruh menghapus papan tulis di depan. Karakter Obama yang ceria dan selalu berpikir positif dapat dilihat sepanjang perjalanan hidupnya. Obama juga selalu terlibat aktif dalam organisasi kampusnya.

Terlibat dalam organisasi itu jelas menempa jiwa kepemimpinan Obama hingga dia juga pernah ditunjuk sebagai President Harvard Law Review. Obama juga aktif terlibat sebagai pengelola komunitas dan berpraktik sebagai pengacara hak asasi sipil, sebelum akhirnya dia terjun sebagai Senator Illinois selama tiga periode, sejak 1997 hingga 2004. Politisi kita harus belajar, bahwa skill kepemimpinan mereka harus dilatih sejak dini dalam kiprah nyata mereka di masyarakat.

Sangat disayangkan, kita jarang melihat skill kepemimpinan yang mumpuni ditunjukkan anggota Dewan kita. Yang sering kita saksikan, mereka tidak bisa memimpin diri mereka sendiri saat terungkap di pengadilan terlibat kasus korupsi hingga masalah perselingkuhan. Memiliki tokoh-tokoh pembaru seperti Obama di AS bukanlah ilusi. Kita bahkan telah memiliki banyak contoh, para pendahulu kita, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, yang menunjukkan kepiawaian "melampaui" zamannya.

Bahkan kepiawaian mereka di atas rata-rata bangsa lain di Asia-Pasifik hingga Eropa dan AS. Kala itu bangsa Indonesia disegani oleh negara-negara lain dan kita sebagai bangsa bisa berjalan dengan badan tegak ke depan. Kita penuh percaya diri saat ini, seperti saat kemenangan Obama di AS sekarang. Sebenarnya Obama "hanyalah" pengingat kejayaan bangsa kita dulu di era Soekarno-Hatta.

Kita harus membangkitkan lagi kewibawaan itu sekarang. Saat bangsa ini terpuruk dari berbagai sektor, mulai dari keterpurukan moral, ekonomi, ketahanan sosial, budaya, militer, kita harus bangkit. Kita harus memiliki para politisi dengan semangat perubahan! (*)

Nicolaus Uskono MSi
Mahasiswa Program Doktor UNJ
Mantan Ketua Umum PP Pemuda Katolik

Tidak ada komentar: