Senin, 15 Desember 2008

Mengukur Kinerja dan Elektabilitas Yudhoyono


BAMBANG SETIAWAN

Kondisi politik yang terjadi selama kurun waktu 2004-2008 turut menentukan apakah Susilo Bambang Yudhoyono akan terpilih kembali sebagai presiden atau tidak dalam Pemilu 2009. Pemilu ini bahkan akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh presiden bisa mengambil jarak dari kekisruhan politik dan tetap menampilkan citra demokratisnya sebagai politikus dan pejabat bertahan (incumbent).

Politik menjadi satu-satunya bidang dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono yang cenderung dinilai positif selama empat tahun masa kerja presiden. Bidang-bidang lainnya cenderung dinilai negatif.

Walaupun bidang hukum, khususnya pemberantasan korupsi, terus mengalami peningkatan apresiasi selama setahun belakangan ini, indeks rata-rata selama empat tahun menunjukkan kinerja di bidang ini belum mencapai nilai positif.

Penilaian ini didasarkan pada pengolahan data hasil jajak pendapat Kompas terhadap kinerja presiden yang dilakukan Litbang Kompas setiap tiga bulan sekali.

Dari 16 kali jajak pendapat selama berjalannya pemerintahan Presiden Yudhoyono, dirumuskan indeks penilaian terhadap masing-masing bidang. Indeks kepuasan adalah selisih antara persentase kepuasan dikurangi dengan ketidakpuasan responden dalam tiap-tiap bidang.

Semakin besar nilai negatif, semakin tinggi indeks ketidakpuasan, dan semakin besar nilai positif, semakin tinggi nilai indeks kepuasannya.

Dengan model ini, ukuran indeks berada dalam rentang antara minus (-)100 hingga plus (+)100. Nilai persentase dari mereka yang tidak memberikan jawaban tidak diperhitungkan dalam indeks kepuasan ini.

Indeks rata-rata kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah bidang politik adalah (+)6,6 dan menjadi modal positif yang dipunyai Presiden Yudhoyono saat ini. Meski sisi positifnya tidak terlalu tinggi, namun dibandingkan dengan indeks kepuasan publik terhadap dua pemerintahan sebelumnya, Yudhoyono boleh bernapas lega.

Indeks kepuasan, baik pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) maupun Megawati Soekarnoputri, negatif dengan angka indeks (-)39,1 dan (-)29,9. Bahkan, di berbagai bidang lain, selama periode kekuasaan mereka, kepuasan publik lebih condong ke sisi minus.

Kehati-hatian Yudhoyono menjaga citra politiknya dengan tidak ikut campur secara terbuka dalam berbagai peristiwa politik seperti pilkada, upayanya menjaga stabilitas lembaga negara dari perpecahan, dan sikapnya yang menjaga jarak dengan tarikan politik berbagai kepentingan menjadikan berbagai intrik panas relatif dapat dihindarkannya.

Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang relatif tetap terjaga dari intervensi negara, dan kebebasan memilih dalam pilkada yang dirasakan di hampir semua daerah, menjadi dimensi yang menguntungkan citra politik pemerintahannya. Kebebasan pers, misalnya, menempati indeks (+)57,8.

Kelemahan di ekonomi

Bidang ekonomi menjadi kelemahan pemerintahan Yudhoyono yang paling menonjol selama empat tahun ini.

Dibandingkan dengan bidang kesejahteraan sosial maupun hukum, bidang ekonomi menempati indeks yang lebih buruk. Kenaikan harga minyak yang lebih dari dua kali lipat selama periode pemerintahannya serta membubungnya harga barang dan jasa menjadi indikator yang memiliki nilai minus cukup besar, dengan indeks kepuasan (-)51,3.

Namun, ketidakberdayaan pemerintah yang paling dirasakan oleh masyarakat justru bukan dalam soal sembako, tetapi soal semakin sempitnya lapangan kerja (nilai indeks -74,8).

Sejak tahun 2004 memang tingkat pengangguran terbuka di Indonesia cenderung meningkat. Tahun 2005, misalnya, menurut Badan Pusat Statistik, mencapai 11,24 persen dan tahun berikutnya 10,45 persen.

Apakah Yudhoyono akan terpilih kembali sebagai presiden dalam Pemilu 2009? Tampaknya peluang untuk terpilih kembali masih cukup besar apabila dilihat dari tingkat elektabilitas yang relatif konstan, yang disampaikan publik.

Setidaknya hingga saat ini kecenderungan responden untuk memilihnya kembali lebih besar daripada yang tidak. Indeks elektabilitas pun menunjukkan sisi positif yang lebih menonjol meski hanya menempati indeks rata-rata (+)11,6.

Bahkan, ada kecenderungan pada bulan Oktober terjadi peningkatan yang cukup signifikan dengan menempati indeks (+)27 dibandingkan dengan periode tiga bulan sebelumnya yang hanya (+)4,6.

Yudhoyono juga masih bertengger di posisi puncak, setidaknya di antara publik kelas menengah yang tercermin dalam jajak pendapat telepon ini.

Di kelas ini, preferensi untuk memilih Yudhoyono terpaut jauh dengan pesaing terdekatnya. Persaingan di antara tokoh-tokoh tampaknya hanya terjadi di urutan menengah.

Di level ini, pergeseran-pergeseran dukungan untuk menempati posisi ketiga dan keempat relatif lebih sering terjadi. Prabowo Subianto dengan Sultan Hamengku Buwono X saat ini bersaing cukup ketat menempati posisi ini. Khususnya Prabowo, berpotensi menjadi kuda hitam yang layak diperhitungkan mengingat popularitasnya yang terus naik. Sementara Megawati masih menjadi bayang-bayang Yudhoyono di urutan kedua.

Tampaknya, relatif cukup berat untuk mengalahkan Yudhoyono dalam pemilu tahun depan. Dalam waktu enam-delapan bulan ke depan, memang tidak ringan untuk membangun kredibilitas sosok alternatif, kecuali ada manuver politik yang demikian tepat setelah pemilu legislatif. Manuver paling riil tentulah koalisi partai dan pilihan pasangan yang tepat. (Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: